Ritel Kian Dekat ke Digitalisasi

Senin, 24 Agustus 2020 - 06:03 WIB
loading...
Ritel Kian Dekat ke Digitalisasi
Foto/Koran SINDO
A A A
SINGAPURA - Digitalisasi memaksa perusahaan ritel ikut beradaptasi untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Merespons hal itu, perusahaan ritel di Asia-Pasifik yang menguasai tiga perempat pertumbuhan global, terus mengembangkan inovasi digital untuk menawarkan masa depan baru kepada dunia.

Inovasi yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut memang penting karena saat ini trennya adalah “cash is dead”, di mana segalanya bergantung pada layar ponsel yang menjadi jendela baru toko di dunia digital. Survei firma analisis Bain & Company menyebutkan, toko fisik ke depan memang masih bisa bertahan, tetapi sebagian besar akan mengandalkan strategi digital. Pemanfaatan kecerdasan buatan juga mampu membantu mengatur harga produk dan mengatur promosi agar lebih efektif.

Transformasi digital akibat pandemi virus corona (Covid-19) juga akan memaksa konsumen tetap beraktivitas di rumah. Di sisi lain, kebutuhan belanja tetap berjalan. Ke depannya, pascapandemi korona, tren tersebut diprediksi terus berlangsung dan bahkan akan terus berkembang dengan pesat.

Lalu, bagaimana sebaiknya peritel menyiasati tren tersebut? Bain & Company menyarankan agar para peritel berkolaborasi dengan layanan aplikasi super (super-apps) di bidang pembayaran dan ekosistem ritel raksasa yang sudah eksis. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mencari solusi untuk pengiriman produk yang cepat hanya dalam waktu 30 menit. (Baca: Daya Beli Turun Industri Ritel Bisa Babak Belur)

Peneliti Bain & Company Melanie Sanders menyarankan beberapa hal yang harus dilakukan perusahaan ritel. Akselerasi itu juga harus dipercepat dan didorong faktor Covid-19 karena tren belanja sudah berubah dari toko ke kanal daring.

Salah satu hasil survei firma konsultasi tersebut, juga meneliti format toko fisik yang ternyata kian lama cenderung ditinggalkan. Migrasi penjualan ke model daring juga dianggap mematikan supermarket dan hipermarket.

“Tren luas hipermarket di Korea Selatan menurun 6% dan China turun mencapai 14% antara 2014 dan 2019. Kemudian, transformasi teknologi juga mengurangi biaya operasional perusahaan ritel,” ungkap hasil riset tersebut.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Industri ritel di Tanah Air termasuk kategori yang cepat menjalankan proses modernisasi, sama halnya dengan India dan Vietnam. Namun demikian, tingkat disrupsinya dinilai rendah karena inklusivitas digitalisasinya masih kurang.

China menjadi negara besar pertama dan utama mengembangkan digitalisasi. Pengembangan China serupa juga dilakukan perusahaan ritel di Amerika Serikat dan Eropa. China pun menjadi pemimpin ritel digital di Asia-Pasifik. Namun, tingkat kedewasaan pasar masih sangat rendah, ruang penjualan fisik di China mencapai 30%. Namun, pasar e-commerce menjadi juara karena memiliki raksasa Alibaba, JD.com, dan Pinduoduo.

Penasihat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Handaka Santosa menyebutkan, pandemi virus korona (Covid-19) telah menghantam sektor ritel Tanah Air. Tekanan yang dialami sektor ini mendorong para pelaku usaha untuk berstrategi dalam mengatasi kondisi tersebut. (Baca juga: Turki Nyatakan Mantan Menteri Palestina Penjahat yang Paling Dicari)

“Ritel juga memerlukan stimulus pemerintah agar tekanan terhadap cashflow dapat teratasi sekaligus bisa menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK),” ujar dia.

Aprindo menilai, penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah berimbas pada penurunan sektor ritel selama semester I/2020. Meski kegiatan seperti di pusat perbelanjaan sudah mulai dibuka kembali pada pertengahan Juni lalu, pencapaian penjualan masih belum pulih penuh.

“Belum memuaskan. Memang pertumbuhan ekonomi kita ini didukung dari 56% oleh konsumsi domestik. Di dalamnya adalah ritel. Tapi setidaknya, apa yang dilakukan itu sudah cukup membantu konsumsi domestik,” kata Handaka kepada SINDO, Minggu (23/8).

Pencapaian pada Juni 2020, penjualan di sektor ritel belum mencapai 50%. Kemudian pada Juli atau awal semester II/2020, baru bisa mencapai 50%. Namun, dia belum bisa memprediksi apakah sektor ritel akan pulih pada Desember mendatang. Jika dibandingkan tahun lalu, pertumbuhan ritel diprediksi masih berada di level minus 40–30%. (Baca juga: MUI teaskan Tak Pernah Keluarkan Maklumat Soal Pembubaran BPIP)

Untuk mendukung pencapaian itu, ujar Handaka, peritel memang perlu melakukan terobosan untuk mendukung penjualan, terlebih lagi untuk memulihkan kembali ekonomi usaha akibat pandemi Covid-19. Menurut dia, tidak hanya luring, peritel juga mau tidak mau harus mengembangkan sisi daring.

“Di masa sekarang ini, kita dipaksa (melakukan terobosan). Tren e-commerce atau online sangat mendukung kami,” kata pria yang juga Ketua Penasihat Hippindo (Himpunan Penyewa Pusat Belanja Indonesia) itu.

Menurut pengalamannya, pada saat penerapan kebijakan PSBB di DKI Jakarta, pihaknya mendorong peritel untuk meningkatkan penjualan secara daring. Selain itu, penjualan juga dilakukan melalui layanan aplikasi pesan instan WhatsApp. Konsep lainnya yaitu penyediaan layanan Drive-Thru.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa peritel harus menjalankan beberapa strategi, seperti memberikan diskon dan mengurangi uang muka. Semua tindakan itu mungkin akan mengurangi keuntungan atau mepet dengan biaya produksi.

“Kalau mereka (masyarakat) tidak ke mal, penjualan daring harus menjadi prioritas. Ini bisa di satu platform digital atau disebar ke banyak platform e-commerce. Jadi tidak tergantung pada platform milik dia, platform lain yang banyak relasi,” ujarnya. (Lihat videonya: Pembunuh Keji Satu Keluarga di Sukahrjo Ditangkap)

Sebenarnya baik perusahaan ritel besar maupun usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sudah lama bermain daring. Namun, wabah Covid-19 diprediksi meningkatkan dan mengalihkan penjualan ke model daring, sehingga Tauhid mengatakan perlu dilakukan penambahan layanan, seperti sistem pengiriman yang cepat.

Tantangan lain peritel di Indonesia adalah terkait ketersediaan perangkat elektronik, seperti ponsel pintar dan laptop. Padahal, di sisi lain ada juga kebutuhan anak sekolah untuk melaksanakan pembelajaran daring.

“Itu bukan hal yang mudah bagi pelaku UMKM. Paling hanya 15–20% yang menggunakan komputer dan HP. Banyak hal yang menyebabkan itu, pengetahuan dan keterbatasan, belum percaya pada pembayaran, dan apakah kualitas akan sama seperti yang mereka hasil kalau tidak daring,” tuturnya. (Andika H Mustaqim/Faorick Pakpahan/Fahmi W Bahtiar)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2260 seconds (0.1#10.140)