Besarnya Beban Pajak Dinilai Jadi Penyebab Industri RI Terpuruk
loading...
A
A
A
"Pengusaha di sini pasti bingung. Banyak banget biaya pajak yang perlu ditanggung oleh mereka, belum lagi pajak gak resmi nya. Terlalu banyak cost yang perlu ditanggung oleh para Pengusaha disini," kata Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra.
Masalah berikutnya yang membebani sektor industri adalah suku bunga bank di Indonesia yang sangat tinggi, jika dibandingkan dengan suku bunga di negara tetangga.
"Bunga bank di Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Di Malaysia itu hanya sekitar 3-5 persen , di Vietnam sekitar 6 persen, Brunei 5.50 persen, dan bahkan di Cina hanya 4.35 persen. Sedangkan di Indonesia bisa mencapai 10-12 persen,” kata BHS.
Ditambah dengan biaya energi, baik listrik, BBM, gas, maupun biaya air juga sangat tinggi. Padahal Indonesia memiliki sumber daya energi yang berlimpah, mulai dari geothermal, kelapa sawit yang tidak bisa habis, minyak dan gas yang terbesar di dunia, serta surya matahari dan air sumber yang melimpah terbesar nomor 5 di dunia.
"Tapi kenyataannya, harga gas Indonesia itu menyentuh USD10 – 12 per MMBTU. Jauh lebih tinggi dibanding dengan beberapa negara penghasil gas lainnya. Termasuk di Malaysia harga gas bisa 1/3 dari harga Indonesia. Bahkan di China pun harga gas untuk industri sangat murah yang berkisar USD3 – 5 per MMBTU. Sedangkan Industri yang ada di Indonesia, paling murah masih berkisar USD7 per MMBTU. Bagaimana industri bisa eksis?" ungkapnya.
Sama halnya, dengan BBM solar industri di Indonesia tidak diberlakukan subsidi. Berbeda dengan di Malaysia, dimana harga BBM Solar yang tidak bersubsidi, yaitu sekitar 3.25 ringgit atau sekitar Rp11.000 per liter. Sementara di Indonesia, yang tidak subsidi saja bisa menyentuh Rp16 – 18 ribu.
"Belum lagi cost industri yang harus ditanggung sebagai akibat dari buruknya infrastruktur jalan di Indonesia. Wilayah Kalimantan dan Sumatera itu jalannya 50 persen lebih tidak layak dan bahkan offroad. Inilah yang menghancurkan transportasi yang mengangkut logistik hasil industri. Sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, termasuk menghambat laju perekonomian akibat transportasi logistik tidak bisa cepat di jalan jalan yang ada di Indonesia," ungkapnya.
Baca Juga: PHK Massal di Industri Teknologi: Ketika Raksasa-Raksasa Digital Terpaksa Merampingkan Diri
Dari sektor buruh yang dikeluhkan pengusaha adalah seringnya demo. Sehingga menjadi pertimbangan pelaku usaha yang merasa iklim industri tidak sehat.
"Jadi jangan disalahkan kalau industri kita tidak bisa bersaing dengan negara industri lainnya, termasuk negara tetangga kita. Seperti halnya industri teksil, kita harus impor karena Industri pendukung kita tidak berkembang. Sehingga bahan baku tekstil mencapai diatas 80 persen impor dari Cina. Bagaimana harga tekstil produk industri Indonesia bisa bersaing lebih murah?” kata BHS lebih lanjut.
Masalah berikutnya yang membebani sektor industri adalah suku bunga bank di Indonesia yang sangat tinggi, jika dibandingkan dengan suku bunga di negara tetangga.
"Bunga bank di Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Di Malaysia itu hanya sekitar 3-5 persen , di Vietnam sekitar 6 persen, Brunei 5.50 persen, dan bahkan di Cina hanya 4.35 persen. Sedangkan di Indonesia bisa mencapai 10-12 persen,” kata BHS.
Ditambah dengan biaya energi, baik listrik, BBM, gas, maupun biaya air juga sangat tinggi. Padahal Indonesia memiliki sumber daya energi yang berlimpah, mulai dari geothermal, kelapa sawit yang tidak bisa habis, minyak dan gas yang terbesar di dunia, serta surya matahari dan air sumber yang melimpah terbesar nomor 5 di dunia.
"Tapi kenyataannya, harga gas Indonesia itu menyentuh USD10 – 12 per MMBTU. Jauh lebih tinggi dibanding dengan beberapa negara penghasil gas lainnya. Termasuk di Malaysia harga gas bisa 1/3 dari harga Indonesia. Bahkan di China pun harga gas untuk industri sangat murah yang berkisar USD3 – 5 per MMBTU. Sedangkan Industri yang ada di Indonesia, paling murah masih berkisar USD7 per MMBTU. Bagaimana industri bisa eksis?" ungkapnya.
Sama halnya, dengan BBM solar industri di Indonesia tidak diberlakukan subsidi. Berbeda dengan di Malaysia, dimana harga BBM Solar yang tidak bersubsidi, yaitu sekitar 3.25 ringgit atau sekitar Rp11.000 per liter. Sementara di Indonesia, yang tidak subsidi saja bisa menyentuh Rp16 – 18 ribu.
"Belum lagi cost industri yang harus ditanggung sebagai akibat dari buruknya infrastruktur jalan di Indonesia. Wilayah Kalimantan dan Sumatera itu jalannya 50 persen lebih tidak layak dan bahkan offroad. Inilah yang menghancurkan transportasi yang mengangkut logistik hasil industri. Sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, termasuk menghambat laju perekonomian akibat transportasi logistik tidak bisa cepat di jalan jalan yang ada di Indonesia," ungkapnya.
Baca Juga: PHK Massal di Industri Teknologi: Ketika Raksasa-Raksasa Digital Terpaksa Merampingkan Diri
Dari sektor buruh yang dikeluhkan pengusaha adalah seringnya demo. Sehingga menjadi pertimbangan pelaku usaha yang merasa iklim industri tidak sehat.
"Jadi jangan disalahkan kalau industri kita tidak bisa bersaing dengan negara industri lainnya, termasuk negara tetangga kita. Seperti halnya industri teksil, kita harus impor karena Industri pendukung kita tidak berkembang. Sehingga bahan baku tekstil mencapai diatas 80 persen impor dari Cina. Bagaimana harga tekstil produk industri Indonesia bisa bersaing lebih murah?” kata BHS lebih lanjut.