Mayday, Mayday, Industri Penerbangan Dunia Terancam Bangkrut
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akhirnya Lion Air Group tidak jadi mengudara pada 3 Mei lalu. Menurut management Lion Air Group pihaknya menunda operasional exemption flight atau izin penerbangan khusus hingga pemberitahuan selanjutnya. Menurut Danang Mandala Prihantoro Corporate Communications Strategic of Lion Air Group, tujuan dari operasional perizinan khusus (exemption flight) adalah membantu kemudahan mobilisasi pebisnis dan bukan untuk mudik.
Dijelaskan oleh Danang, penundaan ini terjadi karena dibutuhkan persiapan-persiapan yang lebih komprehensif, agar pelaksanaan penerbangan tetap berjalan sesuai ketentuan dan unsur-unsur keamanan dan keselamatan penerbangan, selama pandemi virus corona.
Seperti diketahui Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan sejak 24 April hingga 2 Juni 2020 telah melarang operasional penerbangan komersil penumpang. Hal tersebut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Covid-19. Pelarangan ini berlaku baik untuk penerbangan rute domestik maupun internasional. Pelarangan terbang bagi pesawat komersial ini merupakan bagian dari kebijakan larangan mudik saat wabah Corona, yang telah disampaikan oleh Presiden Joko widodo sebelumnya.
Nah pekan lalu, Lion Air Group mengumumkan akan mulai terbang kembali melalui operasional perizinan khusus pada 3 Mei. Ternyata hingga hari ini Lion Air tetap belum bisa terbang. Lion Air tidak sendiri, faktanya dalam beberapa bulan terakhir ini hampir semua maskapai penerbangan di dunia memang sudah tidak mengudara lagi atau mengurangi frekwensi penerbangan mereka secara besar-besaran.
Akibat pandemi corona sejumlah maskapai penerbangan di dunia memang telah menghentikan operasionalnya. Ini terjadi karena memang sejumlah negara dan kota-kota lainnya di dunia telah memberlakukan lock down. Otomatis perusahaan-perusahaan penerbangan itu pun banyak kehilangan penumpang. Maskapai penerbangan seperti Etihad, British Airways, Turki Airlines, Qatar Airways, KLM, Air Asia dan masih banyak lagi sudah berhenti terbang atau mengurangi frekwensi penerbangan mereksa sejak Maret lalu.
Hingga awal April lalu jumlah maskapai yang berhenti terbang makin banyak. Peter Harbison, chairman dari grup industri Centre for Aviation mengatakan ada sekitar 80% pesawat komersial di dunia yang sudah tidak mengudara lagi. Saat itu pun sudah lebih dari 70 maskapai di dunia yang secara remsi mengatakan untuk sementara tidak beroperasi lagi.
Kajian yang dipublikasikan oleh CAPA (Centre for Asia-Pacific Aviation) lembaga konsultasi dan analisis penerbangan yang berbasis di Sydney Australia pada 29 April lalu mengatakan penumpang pada perusahaan maskapai penerbangan di Eropa sudah anjlok sebesar 87%. Sebagai perbandingan penumpang pesawat di kawasan Amerika Latin juga turun 82%. Sementara penumpang burung besi di Timur Tengah merosot 75%, Afrika 75%, Amerika Utara berkurang 71%. Lalu untuk kawasan Asia Pasifik anjlok 60%.
Tak mengherankan jika CAPA pun memprediksikan dalam dua bulan ke depan dari 800 maskapai penerbangan di dunia, lebih dari 50% akan gulung tikar, akibat dihantam pandemi corona. CAPA mengatakan prediksi ini bisa tidak terjadi dengan catatan pemerintah setempat mau memberikan bantuan kepada perusahaan penerbangan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional, IATA pun menyebutkan, industri penerbangan global membutuhkan bantuan dari pemerintah. Bantuan dimaksud adalah skema bailout total antara US$150 miliar dan US$200 miliar untuk bertahan dari krisis akibat virus Corona.
Sebelum bantuan itu datang, berbagai upaya pun dilakukan maskapai penerbangan untuk tetap bertahan hidup. Intinya perusahaan-perusahaan tersebut melakukan efisiensi besar-besaran agar tetap eksis. PHK dan merumahkan karyawan jadi cara yang paling banyak dipilih.
Dijelaskan oleh Danang, penundaan ini terjadi karena dibutuhkan persiapan-persiapan yang lebih komprehensif, agar pelaksanaan penerbangan tetap berjalan sesuai ketentuan dan unsur-unsur keamanan dan keselamatan penerbangan, selama pandemi virus corona.
Seperti diketahui Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan sejak 24 April hingga 2 Juni 2020 telah melarang operasional penerbangan komersil penumpang. Hal tersebut diatur dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah Covid-19. Pelarangan ini berlaku baik untuk penerbangan rute domestik maupun internasional. Pelarangan terbang bagi pesawat komersial ini merupakan bagian dari kebijakan larangan mudik saat wabah Corona, yang telah disampaikan oleh Presiden Joko widodo sebelumnya.
Nah pekan lalu, Lion Air Group mengumumkan akan mulai terbang kembali melalui operasional perizinan khusus pada 3 Mei. Ternyata hingga hari ini Lion Air tetap belum bisa terbang. Lion Air tidak sendiri, faktanya dalam beberapa bulan terakhir ini hampir semua maskapai penerbangan di dunia memang sudah tidak mengudara lagi atau mengurangi frekwensi penerbangan mereka secara besar-besaran.
Akibat pandemi corona sejumlah maskapai penerbangan di dunia memang telah menghentikan operasionalnya. Ini terjadi karena memang sejumlah negara dan kota-kota lainnya di dunia telah memberlakukan lock down. Otomatis perusahaan-perusahaan penerbangan itu pun banyak kehilangan penumpang. Maskapai penerbangan seperti Etihad, British Airways, Turki Airlines, Qatar Airways, KLM, Air Asia dan masih banyak lagi sudah berhenti terbang atau mengurangi frekwensi penerbangan mereksa sejak Maret lalu.
Hingga awal April lalu jumlah maskapai yang berhenti terbang makin banyak. Peter Harbison, chairman dari grup industri Centre for Aviation mengatakan ada sekitar 80% pesawat komersial di dunia yang sudah tidak mengudara lagi. Saat itu pun sudah lebih dari 70 maskapai di dunia yang secara remsi mengatakan untuk sementara tidak beroperasi lagi.
Kajian yang dipublikasikan oleh CAPA (Centre for Asia-Pacific Aviation) lembaga konsultasi dan analisis penerbangan yang berbasis di Sydney Australia pada 29 April lalu mengatakan penumpang pada perusahaan maskapai penerbangan di Eropa sudah anjlok sebesar 87%. Sebagai perbandingan penumpang pesawat di kawasan Amerika Latin juga turun 82%. Sementara penumpang burung besi di Timur Tengah merosot 75%, Afrika 75%, Amerika Utara berkurang 71%. Lalu untuk kawasan Asia Pasifik anjlok 60%.
Tak mengherankan jika CAPA pun memprediksikan dalam dua bulan ke depan dari 800 maskapai penerbangan di dunia, lebih dari 50% akan gulung tikar, akibat dihantam pandemi corona. CAPA mengatakan prediksi ini bisa tidak terjadi dengan catatan pemerintah setempat mau memberikan bantuan kepada perusahaan penerbangan.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional, IATA pun menyebutkan, industri penerbangan global membutuhkan bantuan dari pemerintah. Bantuan dimaksud adalah skema bailout total antara US$150 miliar dan US$200 miliar untuk bertahan dari krisis akibat virus Corona.
Sebelum bantuan itu datang, berbagai upaya pun dilakukan maskapai penerbangan untuk tetap bertahan hidup. Intinya perusahaan-perusahaan tersebut melakukan efisiensi besar-besaran agar tetap eksis. PHK dan merumahkan karyawan jadi cara yang paling banyak dipilih.