Karpet Merah Bagi Pengusaha, Faisal Basri Desak RUU Minerba Dibatalkan

Rabu, 15 April 2020 - 19:35 WIB
loading...
Karpet Merah Bagi Pengusaha,...
Ekonom Senior Indef Faisal Basri mengatakan, Omnibus Law ataupun RUU Minerba tidak pantas untuk disahkan apalagi di tengah perjuangan masyarakat melawan Covid-19. Foto/Inews
A A A
JAKARTA - Pemerintah didesak membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) ataupun RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19. Rencana pengesahan RUU Cipta Kerja maupun RUU Minerba dianggap hanya memberikan karpet merah bagi taipan batu bara agar bisa mengeruk sumber daya lebih besar lagi untuk di eskpor.

"Menurut saya Omnibus Law ataupun RUU Minerba tidak pantas untuk disahkan apalagi di tengah perjuangan masyarakat melawan Covid-19. Pada dasarnya, UU Minerba sudah bagus tinggal dilaksanakan secara konsisten sehingga dalam prosesnnya mampu menghasilkan BUMN tambang besar yang mampu memberikan maslahat bagi rakyat dan negara," ujar Ekonom Senior Indef Faisal Basri saat diskusi online bertajuk “Menggali Krusial RUU Minerba” di Jakarta Rabu (15/4/2020).

Menurut dia tidak ada urgensi untuk mengesahkan RUU Cipta Kerja maupun RUU Minerba selain hanya memuluskan bisnis pengusaha batu bara. Apalagi bisnis batu bara memang sangat menggiurkan, karena proses produksinya mudah dikeruk tinggal masuk tongkang lalu di eskpor.

Faisal pun tidak heran jika karpet merah digelar berlapis-lapis melalui RUU Cipta Kerja maupun RUU Minerba untuk melanggengkan bisnis batu bara khususnya bagi pengusaha di lingkaran kekuasaan. Bahkan pihaknya menyebut sepanjang tahun lalu produksi batu bara mencapai 616 juta ton dengan nilai ekspor meningkat tajam mencapai USD19 miliar.

"Itu tertinggi sepanjang sejarah. Apalagi tahun pemilu produksi dan ekspornya naik. Nah, sekarang digelar lagi dua lapis karpet merah dengan rencana mengesahkan Omnibus Law dan RUU Minerba," kata dia.

Ia pun membeberkan sejumlah pasal di RUU Minerba yang tujuannya untuk melanggengkan bisnis tambang batu bara. Sejumlah pasal tersebut di antaranya pasal 1 ayat 69a dan pasal 83.

Terkait dengan pasal 1 ayat 69a pemegang Kontrak Karya (KK) dan PKP2B diberikan jaminan penuh perpanjangan walaupun telah habis kontrak. Adapun jaminan tersebut diakomodir oleh pemerintah malalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui perubahan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi dengan sejumlah ketentuan.

Adapun perpanjangan tersebut dijamin penuh melalui dua kali perpanjangan izin usaha operasi produksi masing-masing 10 tahun setelah berakhirnya KK dengan dalih meningkatkan penerimaan negara. "Padahal tujuan mereka mengantisipasi pergantian rezim. Mereka investasi direzim sekarang, maka ingin diperpanjang di periode sekarang ini dengan proses pengamanan itu yang terjadi," tandas dia.

Lalu berkaitan dengan Pasal 83, dalihnya batu bara digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik di dalam negeri walaupun hanya 10% dari program 35.000 megawatt (MW). Semisal produksi batu bara sebesar 85 juta ton dengan kebutuhan 35.000 MW kira-kira hanya sebesar 10%.

Dengan ketentuan itu, imbuhnya, pengusaha batu bara mendapatkan jaminan perpanjangan 10 tahun setelah memenuhi persyaratan kentuan perpanjangan mayoritas ekspor. Ekspor bisa diperpanjang 10 tahun dan ketentuan memasok kebutuhan dalam negeri selama 10 tahun.

"Jadi sebenarnya bukan optimalisasi penerimaan negara, tapi meraih keuntungan yang lebih sangat besar. Jadi dua RUU ini dibuat sebagai upaya double lapis untuk menjaga apa yang telah mereka miliki sekarang supaya bisa langgeng mencetak uang miliaran. Tapi ini sangat sulit dilakukan jika tidak dekat kekuasaan," tandasnya.

Sebab itu imbuhnya, pengusaha batu bara kian besar pengaruhnya terhadap kehidupan politik di Indonesia. Bahkan Faisal Basri tak tanggung-tanggung menyebut ada salah satu pejabat sekelas menteri koordinator yang saat ini berada di lingkup kekuasaan yang punya andil besar dalam memuluskan RUU Minerba maupun Omnibus Law yang pada dasarnya hanya untuk melanggengkan bisnis batu baranya.

Pihaknya pun menyebut terdapat enam perusahaan batu bara di dalam negeri yang saat ini menguasai 70% produksi batu bara nasional. Menurut dia sejumlah perusahaan tersebut PKP2B-nya akan berakhir pada periode 2020-2025 sehingga butuh perpanjangan di rezim ini.

"Mereka itu bisa menentukan siapa presiden, gubernur dan walikota. Demokrasi memang jalan tapi pengendali antara lain kaum taipan batu bara untuk memperkokoh terjadinya korporatokrasi di Indonesia," kata dia.
(ant)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1224 seconds (0.1#10.140)