Sebelum Disikat KPK, Orang Ini Sudah Ingatkan Edhy Prabowo Tapi Ngeyel
loading...
A
A
A
JAKARTA - Usai mencabut kebijakan larangan ekspor benih lobster melalui Peraturan Menteri (Permen) Nomor 12/Permen-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) di Indonesia, Menteri KKP Edhy Prabowo mengatakan, pencabutan tersebut diiringi oleh sejumlah daerah yang telah melakukan pembesaran benih lobster seperti di NTB, Sulawesi Tenggara hingga Lampung, dengan demikian ekspor benih lobster di masa eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti yang dilarang, menjadi legal di masa Edhy.
Pengamat sektor kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mencatat, sejak awal potensi korupsi atau suap di balik kebijakan pencabutan aturan larangan ekspor benih lobster sudah tercium. "Sejak kasus ini (pencabutan larangan) diwacanakan kami sudah sampaikan dan ingatkan kepada Menteri KKP (Edhy), tapi beliaunya bandel dan tetap melanjutkan kebijakan itu, karena potensinya korupsi sangat besar di balik aturan itu, dan justru membingungkan sejumlah pihak sehingga rentan penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan," ujar Abdul saat dihubungi, Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Dia menceritakan, pasca Edhy Prabowo memberlakukan praktik ekspor benih lobster, pihaknya melihat ada sejumlah kejanggalan di balik kebijakan tersebut. Pertama adalah isi dari Permen Nomor 12 tahun 2020. Dalam permen ini, disebutkan bahwa penetapan kuota dan lokasi pengambilan benih lobster didasarkan pada hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (KAJISKAN). Di mana, hasil kajian tersebut dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Nomor 50 tahun 2017 yang diterbitkan di masa Susi Pudjiastuti.
Bahkan, hingga saat ini belum ada aturan baru terkait hal tersebut, hingga yang harus diacu adalah aturan eksisting yang ada. Karena itu, dari aturan itu, terdapat 11 pengolahan perikanan dan lobster yang memiliki statusnya zona kuning dan merah. Untuk zona kuning, masih dibolehkan dilakukan penangkapan, namun bersifat terbatas. Bahkan, sifat keterbatasan ini juga diikuti pendampingan oleh pengawasan yang ketat. Sementara itu, untuk wilayah zona merah, tidak diperbolehkan melakukan penangkapan, justru malah harus dilakukan pengembalian stok lobster.
"Maka harus dilakukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi praktek penangkapan secara ilegal yang berujung pada penyelundupan besar ke luar negeri secara besar pula. Tapi di masa Pak Edhy, ini di-loss (lepaskan) seperti yang dikehendaki oleh Menteri KKP melalui Permen 12 tahun 2020," kata dia.
Kedua, profil eksportirnya. Dalam penelusuran pihak Abdul, eksportir bisa melaksanakan izin yang mereka miliki dalam bentuk pengeluaran benih lobster keluar negeri apabila sudah terbukti adanya panen secara berkelanjutan. Meski begitu, pada umumnya perusahaan yang mendapatkan izin ekspor itu adalah perusahaan yang baru mengurus izinnya 2-3 bulan terakhir.
Dan itupun, perusahaan tidak memiliki pengalaman untuk bisa dikatakan panen secara berkelanjutan ihwal pembesaran lobster. Sehingga hal ini menjadi pertanyaan pihaknya. Bahwa, bagaimana mungkin izin diberikan sementara perusahaan tidak memiliki track record berkenaan dengan usaha pembesaran lobster di dalam negeri. "Ini kejanggalan yang ditunjukan oleh Menteri KKP saat ini dengan dikeluarkannya kebijakan ekspor benih lobster," paparnya.
Kejanggalan ketiga adalah nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kegiatan ekspor benih lobster. Abdul mengatakan, per 1.000 ekor lobster hanya dihargai Rp250. Karena itu, per Juni 2020 lalu, tercatat ada 37.000 ekor lobster yang diekspor, namun kontribusinya bagi PNBP Indonesia hanya Rp 9.375. "Ini sangat ironis," katanya.
Keempat, adanya praktik monopoli yang berkenaan dengan jasa angkut benih lobster dari hilirnya. Dari data yang dimiliki, Menteri KKP hanya memperbolehkan angkutan benih lobster diberangkatkan melalui Bandar Udara Soekarno Hatta yang dilakukan oleh satu perusahaan saja, yakni, PT Aero Citra Kargo (ACK). "Sementara bandara lain yang diperbolehkan untuk memberangkatkan benih lobster yang diekspor ternyata hanya tertuang di dalam dokumen saja, tetapi tidak bisa diimplementasikan," ungkap Abdul.
Pengamat sektor kelautan dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim mencatat, sejak awal potensi korupsi atau suap di balik kebijakan pencabutan aturan larangan ekspor benih lobster sudah tercium. "Sejak kasus ini (pencabutan larangan) diwacanakan kami sudah sampaikan dan ingatkan kepada Menteri KKP (Edhy), tapi beliaunya bandel dan tetap melanjutkan kebijakan itu, karena potensinya korupsi sangat besar di balik aturan itu, dan justru membingungkan sejumlah pihak sehingga rentan penyalahgunaan kewenangan dan penyuapan," ujar Abdul saat dihubungi, Jakarta, Kamis (26/11/2020).
Dia menceritakan, pasca Edhy Prabowo memberlakukan praktik ekspor benih lobster, pihaknya melihat ada sejumlah kejanggalan di balik kebijakan tersebut. Pertama adalah isi dari Permen Nomor 12 tahun 2020. Dalam permen ini, disebutkan bahwa penetapan kuota dan lokasi pengambilan benih lobster didasarkan pada hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (KAJISKAN). Di mana, hasil kajian tersebut dituangkan ke dalam Keputusan Menteri Nomor 50 tahun 2017 yang diterbitkan di masa Susi Pudjiastuti.
Bahkan, hingga saat ini belum ada aturan baru terkait hal tersebut, hingga yang harus diacu adalah aturan eksisting yang ada. Karena itu, dari aturan itu, terdapat 11 pengolahan perikanan dan lobster yang memiliki statusnya zona kuning dan merah. Untuk zona kuning, masih dibolehkan dilakukan penangkapan, namun bersifat terbatas. Bahkan, sifat keterbatasan ini juga diikuti pendampingan oleh pengawasan yang ketat. Sementara itu, untuk wilayah zona merah, tidak diperbolehkan melakukan penangkapan, justru malah harus dilakukan pengembalian stok lobster.
"Maka harus dilakukan pengawasan yang ketat agar tidak terjadi praktek penangkapan secara ilegal yang berujung pada penyelundupan besar ke luar negeri secara besar pula. Tapi di masa Pak Edhy, ini di-loss (lepaskan) seperti yang dikehendaki oleh Menteri KKP melalui Permen 12 tahun 2020," kata dia.
Kedua, profil eksportirnya. Dalam penelusuran pihak Abdul, eksportir bisa melaksanakan izin yang mereka miliki dalam bentuk pengeluaran benih lobster keluar negeri apabila sudah terbukti adanya panen secara berkelanjutan. Meski begitu, pada umumnya perusahaan yang mendapatkan izin ekspor itu adalah perusahaan yang baru mengurus izinnya 2-3 bulan terakhir.
Dan itupun, perusahaan tidak memiliki pengalaman untuk bisa dikatakan panen secara berkelanjutan ihwal pembesaran lobster. Sehingga hal ini menjadi pertanyaan pihaknya. Bahwa, bagaimana mungkin izin diberikan sementara perusahaan tidak memiliki track record berkenaan dengan usaha pembesaran lobster di dalam negeri. "Ini kejanggalan yang ditunjukan oleh Menteri KKP saat ini dengan dikeluarkannya kebijakan ekspor benih lobster," paparnya.
Kejanggalan ketiga adalah nilai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kegiatan ekspor benih lobster. Abdul mengatakan, per 1.000 ekor lobster hanya dihargai Rp250. Karena itu, per Juni 2020 lalu, tercatat ada 37.000 ekor lobster yang diekspor, namun kontribusinya bagi PNBP Indonesia hanya Rp 9.375. "Ini sangat ironis," katanya.
Keempat, adanya praktik monopoli yang berkenaan dengan jasa angkut benih lobster dari hilirnya. Dari data yang dimiliki, Menteri KKP hanya memperbolehkan angkutan benih lobster diberangkatkan melalui Bandar Udara Soekarno Hatta yang dilakukan oleh satu perusahaan saja, yakni, PT Aero Citra Kargo (ACK). "Sementara bandara lain yang diperbolehkan untuk memberangkatkan benih lobster yang diekspor ternyata hanya tertuang di dalam dokumen saja, tetapi tidak bisa diimplementasikan," ungkap Abdul.
(nng)