Bantah Kajian Proyek DME Bikin Rugi Rp5 T Per Tahun, ESDM: Ada Perbedaan Asumsi Data
loading...
A
A
A
JAKARTA - Cadangan batu bara Indonesia relatif lebih besar dibandingkan dengan minyak dan gas bumi. Status terakhir cadangan emas hitam itu tercatat sekitar 38 miliar ton. Dengan tingkat produksi sekitar 600 juta ton, usia cadangan batubara Indonesia diperikirakan sekitar 63 tahun apabila diasumsikan tidak ada temuan cadangan baru.
"Kebijakan pemerintah saat ini mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batu bara, salah satunya menjadi dimethyl ether (DME) yang dapat digunakan sebagai substitusi LPG. LPG sendiri merupakan komoditi energi yang lebih dari 70% masih impor. Konsumsinya perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," ungkap Plt. Kepala Badan Litbang Kementerian ESDM Dadan Kusdiana di Jakarta, Rabu (9/12/20). ( Baca juga:Bisa Timbulkan Kerugian Rp5 Trilun Per Tahun, Proyek Gasifikasi Batu Bara Dianggap Tak Masuk Akal )
Dalam rangka mendorong kebijakan hilirisasi batu bara, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu, berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Hal tersebut, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu proyek DME yang sedang berjalan dilakukan oleh konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Pertamina dan Air Product, dengan kapasitas input batu bara 6 juta ton per tahun untuk dapat memproduksikan 1,4 juta ton DME.
Namun, pada bulan November 2020 lalu terdapat kajian yang dilakukan oleh lembaga think tank yang menyebutkan bahwa proyek DME tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan sekitar USD377 juta.
Menidaklanjuti kajian tersebut, Tim Kajian Hilirisasi Batubara Balitbang ESDM melakukan analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think tank dengan feasibility study (FS) PT BA, sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan. Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan dan pertimbangan multiplier effect dari proyek.
Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think tank tersebut sebesar USD365/ton yang hanya mencerminkan harga kondisi tahun 2020 saat demand energi rendah di masa pandemi. Sedangkan asumsi harga LPG pada FS PT BA sekitar USD600/ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir. Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME.
Perbedaan lainnya terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think tank sebesar USD37/ton. Sedangkan FS PTBA sekitar USD21/ton yang merupakan harga batu bara PTBA kualitas rendah pada saat FS dibuat. Terkait input batu bara terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, di mana FS PTBA lebih efisien.
Metode perhitungan yang digunakan lembaga think tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar USD300/ton yang mengacu pada referensi Plant Lanhua di China.
Sedangkan PTBA telah melakukan FS secara komprehensif dengan asumsi data (sebagaimana tabel) yang menghasilkan keekonomian proyek dengan net present value (NPV) USD350 juta dan internal rate of return (IRR) sekitar 11% sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. Selain itu FS PTBA juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya.
"Kebijakan pemerintah saat ini mendorong hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batu bara, salah satunya menjadi dimethyl ether (DME) yang dapat digunakan sebagai substitusi LPG. LPG sendiri merupakan komoditi energi yang lebih dari 70% masih impor. Konsumsinya perlu disubstitusi untuk mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan dan meningkatkan ketahanan energi nasional," ungkap Plt. Kepala Badan Litbang Kementerian ESDM Dadan Kusdiana di Jakarta, Rabu (9/12/20). ( Baca juga:Bisa Timbulkan Kerugian Rp5 Trilun Per Tahun, Proyek Gasifikasi Batu Bara Dianggap Tak Masuk Akal )
Dalam rangka mendorong kebijakan hilirisasi batu bara, pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batu bara dapat diberikan perlakuan tertentu, berupa pengenaan royalti sebesar 0%. Hal tersebut, tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu proyek DME yang sedang berjalan dilakukan oleh konsorsium PT Bukit Asam Tbk (PTBA), Pertamina dan Air Product, dengan kapasitas input batu bara 6 juta ton per tahun untuk dapat memproduksikan 1,4 juta ton DME.
Namun, pada bulan November 2020 lalu terdapat kajian yang dilakukan oleh lembaga think tank yang menyebutkan bahwa proyek DME tidak masuk skala keekonomian dan menyebabkan kerugian tahunan sekitar USD377 juta.
Menidaklanjuti kajian tersebut, Tim Kajian Hilirisasi Batubara Balitbang ESDM melakukan analisis dan konfirmasi antara kajian lembaga think tank dengan feasibility study (FS) PT BA, sehingga didapat bahwa proyek DME secara ekonomi layak dijalankan. Perbedaan hasil kajian karena perbedaan asumsi data yang digunakan, metode perhitungan dan pertimbangan multiplier effect dari proyek.
Asumsi harga LPG yang digunakan lembaga think tank tersebut sebesar USD365/ton yang hanya mencerminkan harga kondisi tahun 2020 saat demand energi rendah di masa pandemi. Sedangkan asumsi harga LPG pada FS PT BA sekitar USD600/ton mencerminkan harga LPG rata-rata dalam 10 tahun terakhir. Perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap harga jual DME.
Perbedaan lainnya terkait asumsi harga batu bara dan kapasitas input batu bara. Asumsi harga batu bara yang digunakan lembaga think tank sebesar USD37/ton. Sedangkan FS PTBA sekitar USD21/ton yang merupakan harga batu bara PTBA kualitas rendah pada saat FS dibuat. Terkait input batu bara terdapat selisih sebesar 500 ribu ton, di mana FS PTBA lebih efisien.
Metode perhitungan yang digunakan lembaga think tank sangat sederhana hanya memperlihatkan perhitungan satu tahun dengan asumsi biaya produksi DME sebesar USD300/ton yang mengacu pada referensi Plant Lanhua di China.
Sedangkan PTBA telah melakukan FS secara komprehensif dengan asumsi data (sebagaimana tabel) yang menghasilkan keekonomian proyek dengan net present value (NPV) USD350 juta dan internal rate of return (IRR) sekitar 11% sehingga proyek ekonomis dan tidak rugi. Selain itu FS PTBA juga mempertimbangkan dampak ekonomi lainnya.