Enam Perubahan Besar pada 2021
loading...
A
A
A
Yuswohady
Managing Partner Inventure
Pada tahun 2021 kita akan menghadapi perubahan besar di bidang teknologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga regulasi yang pada gilirannya memengaruhi operasi bisnis dan perusahaan. Selama enam bulan terakhir ini, saya melakukan riset untuk mengidentifikasinya, dan saya menemukan enam perubahan besar yang bakal terjadi. Saya menyebutnya "Six Forces of Changes 2021".
#1. Covid-19 Propagation
Berbeda dengan perubahan-perubahan industri sebelumnya, pada tahun 2021 perubahan industri sangat ditentukan oleh penyebaran virus dan kemampuan pemerintah dalam memproduksi dan mendistribusikan vaksin kepada seluruh warga negara. (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)
Faktor ini menjadi "vital driver of change" karena sejauh penyebaran virus tak bisa dihentikan dan vaksin penangkal tak urung dikembangkan, maka seluruh elemen perekonomian, industri, dan bisnis akan tetap lumpuh tak berdaya.
Namun, begitu muncul titik terang vaksin diproduksi dan didistribusikan, maka sentimen konsumen akan cepat pulih, spending masyarakat (khususnya kelas menengah) mulai bangkit, dan perekonomian kembali menggeliat.
#2. Societal Anxiety
Pandemi menimbulkan luka yang akut dan kecemasan luar biasa di kalangan konsumen dan masyarakat. Mereka takut dan cemas kehilangan nyawa ("Fear of Death"), kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin ("Fear of Economic"), dan kehilangan kehidupan sosial, harapan, kebergunaan ("Fear of Actualization").
Ketakutan dan rasa cemas itu terjadi di tingkat individu (personal) tapi kemudian bermetamorfosis dan menjelma menjadi keresahan komunal (societal) yang berujung pada berbagai persoalan sosial, seperti keputusasaan, isolasi, depresi, kejahatan, kenekatan, hingga ekstremisme. (Baca juga: Komisi X Dorong Munculnya Penggerak Literasi Desa)
Mindfulness dan well-being menjadi kelangkaan di tengah-tengah era ketakutan ini.
#3. The Rise of Coronationalism
Di era pandemi masing-masing negara akan semakin selfish dengan berupaya keras melindungi kepentingan masing-masing. Pembatasan dan pelarangan arus keluar-masuk orang (penerbangan), barang (ekspor-impor), kontrol perbatasan akan kian masif dengan alasan kepentingan nasional masing-masing negara.
Negara-negara saling menyalahkan seperti yang dilakukan Presiden AS Trump yang menuduh China sebagai biang kerok bencana Covid-19. Ketika vaksin diproduksi nanti, semua negara akan "berebut" mendapatkan vaksin demi kepentingan warga negara masing-masing.
Negara juga bisa semena-mena akan melarang orang asing masuk dengan alasan perlindungan warga negara. Sebut saja ini: "Coronationalism". (Baca juga: Biaya Kesehatan di Indonesia Diperkirakan Naik di 2021)
Maka tak terhindarkan pandemi mendorong kohesi di dalam negara akan meningkat, sebaliknya friksi antarnegara akan menguat. Pandemi adalah antitesis globalisasi.
#4. Government (Mis) Leadership
Beberapa negara sukses menangani krisis pandemi seperti Selandia Baru, Taiwan, atau Korea Selatan tetapi sebagian besar negara di dunia gagal menanganinya, termasuk Indonesia.
Bukan suatu hal yang aneh karena pandemi datang begitu cepat dan semua negara gelagapan meresponsnya: mulai dari kebijakan PSBB/lockdown, antisipasi darurat perlengkapan dan infrastruktur kesehatan, menangani krisis ekonomi, hingga produksi/distribusi vaksin.
Kini, leadership para pemimpin negara di seluruh dunia diuji. Efektif tidaknya kepemimpinan mereka menangani krisis Covid-19 akan menentukan cepat tidaknya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.
#5. Global Supply-Chain Disruption
Sebelum pandemi, sistem produksi global mengalami globalisasi di mana rantai pasok produksi tersebar di berbagai untuk memanfaatkan spesialisasi, skala ekonomi, pasok tenaga kerja, kedekatan dengan bahan baku, maupun kedekatan pasar akhir. (Baca juga: Canggih, India Gunakan Robot untuk Merawat Pasien)
Namun, dengan adanya pandemi, maka kondisinya berbalik. Memiliki rantai pasok tersebar di berbagai belahan dunia membawa risiko kritikal ketika arus barang melintas negara mengalami bottleneck.
Dampaknya serius di sektor-sektor manufaktur seperti: automotif, komputer/elektronik, garmen, farmasi, kimia, hingga makanan/minuman.
#6. Accelerated Digitalization
Pasca pandemi berbagai industri akan membangun resiliensi dengan membangun ekosistem rantai pasok yang lebih terkonsentrasi di lingkup regional, bahkan nasional, tak lagi tersebar di berbagai belahan dunia.
Implikasinya, ketergantungan pasok bahan baku/suku cadang hanya di satu negara (China atau India) semakin dihindari.
Pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital/online. Dengan munculnya stay @ home economy akibat pandemi, maka seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital: berbelanja, bekerja, belajar, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah. (Lihat videonya: HRS Ditetapkan Tersangka)
Ketika ekonomi fisikal mandek akibat pandemi, maka ekonomi digital menggantikannya sehingga geliat perekonomian masih berjalan.
Tak heran jika transformasi digital menjadi agenda terpenting bagi perusahaan untuk tetap bisa survive di tengah pandemi. Semboyannya: "Go digital or die!!!"
Managing Partner Inventure
Pada tahun 2021 kita akan menghadapi perubahan besar di bidang teknologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga regulasi yang pada gilirannya memengaruhi operasi bisnis dan perusahaan. Selama enam bulan terakhir ini, saya melakukan riset untuk mengidentifikasinya, dan saya menemukan enam perubahan besar yang bakal terjadi. Saya menyebutnya "Six Forces of Changes 2021".
#1. Covid-19 Propagation
Berbeda dengan perubahan-perubahan industri sebelumnya, pada tahun 2021 perubahan industri sangat ditentukan oleh penyebaran virus dan kemampuan pemerintah dalam memproduksi dan mendistribusikan vaksin kepada seluruh warga negara. (Baca: Taubat Sebagai Jalan Keluar Masalah)
Faktor ini menjadi "vital driver of change" karena sejauh penyebaran virus tak bisa dihentikan dan vaksin penangkal tak urung dikembangkan, maka seluruh elemen perekonomian, industri, dan bisnis akan tetap lumpuh tak berdaya.
Namun, begitu muncul titik terang vaksin diproduksi dan didistribusikan, maka sentimen konsumen akan cepat pulih, spending masyarakat (khususnya kelas menengah) mulai bangkit, dan perekonomian kembali menggeliat.
#2. Societal Anxiety
Pandemi menimbulkan luka yang akut dan kecemasan luar biasa di kalangan konsumen dan masyarakat. Mereka takut dan cemas kehilangan nyawa ("Fear of Death"), kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin ("Fear of Economic"), dan kehilangan kehidupan sosial, harapan, kebergunaan ("Fear of Actualization").
Ketakutan dan rasa cemas itu terjadi di tingkat individu (personal) tapi kemudian bermetamorfosis dan menjelma menjadi keresahan komunal (societal) yang berujung pada berbagai persoalan sosial, seperti keputusasaan, isolasi, depresi, kejahatan, kenekatan, hingga ekstremisme. (Baca juga: Komisi X Dorong Munculnya Penggerak Literasi Desa)
Mindfulness dan well-being menjadi kelangkaan di tengah-tengah era ketakutan ini.
#3. The Rise of Coronationalism
Di era pandemi masing-masing negara akan semakin selfish dengan berupaya keras melindungi kepentingan masing-masing. Pembatasan dan pelarangan arus keluar-masuk orang (penerbangan), barang (ekspor-impor), kontrol perbatasan akan kian masif dengan alasan kepentingan nasional masing-masing negara.
Negara-negara saling menyalahkan seperti yang dilakukan Presiden AS Trump yang menuduh China sebagai biang kerok bencana Covid-19. Ketika vaksin diproduksi nanti, semua negara akan "berebut" mendapatkan vaksin demi kepentingan warga negara masing-masing.
Negara juga bisa semena-mena akan melarang orang asing masuk dengan alasan perlindungan warga negara. Sebut saja ini: "Coronationalism". (Baca juga: Biaya Kesehatan di Indonesia Diperkirakan Naik di 2021)
Maka tak terhindarkan pandemi mendorong kohesi di dalam negara akan meningkat, sebaliknya friksi antarnegara akan menguat. Pandemi adalah antitesis globalisasi.
#4. Government (Mis) Leadership
Beberapa negara sukses menangani krisis pandemi seperti Selandia Baru, Taiwan, atau Korea Selatan tetapi sebagian besar negara di dunia gagal menanganinya, termasuk Indonesia.
Bukan suatu hal yang aneh karena pandemi datang begitu cepat dan semua negara gelagapan meresponsnya: mulai dari kebijakan PSBB/lockdown, antisipasi darurat perlengkapan dan infrastruktur kesehatan, menangani krisis ekonomi, hingga produksi/distribusi vaksin.
Kini, leadership para pemimpin negara di seluruh dunia diuji. Efektif tidaknya kepemimpinan mereka menangani krisis Covid-19 akan menentukan cepat tidaknya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.
#5. Global Supply-Chain Disruption
Sebelum pandemi, sistem produksi global mengalami globalisasi di mana rantai pasok produksi tersebar di berbagai untuk memanfaatkan spesialisasi, skala ekonomi, pasok tenaga kerja, kedekatan dengan bahan baku, maupun kedekatan pasar akhir. (Baca juga: Canggih, India Gunakan Robot untuk Merawat Pasien)
Namun, dengan adanya pandemi, maka kondisinya berbalik. Memiliki rantai pasok tersebar di berbagai belahan dunia membawa risiko kritikal ketika arus barang melintas negara mengalami bottleneck.
Dampaknya serius di sektor-sektor manufaktur seperti: automotif, komputer/elektronik, garmen, farmasi, kimia, hingga makanan/minuman.
#6. Accelerated Digitalization
Pasca pandemi berbagai industri akan membangun resiliensi dengan membangun ekosistem rantai pasok yang lebih terkonsentrasi di lingkup regional, bahkan nasional, tak lagi tersebar di berbagai belahan dunia.
Implikasinya, ketergantungan pasok bahan baku/suku cadang hanya di satu negara (China atau India) semakin dihindari.
Pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital/online. Dengan munculnya stay @ home economy akibat pandemi, maka seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital: berbelanja, bekerja, belajar, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah. (Lihat videonya: HRS Ditetapkan Tersangka)
Ketika ekonomi fisikal mandek akibat pandemi, maka ekonomi digital menggantikannya sehingga geliat perekonomian masih berjalan.
Tak heran jika transformasi digital menjadi agenda terpenting bagi perusahaan untuk tetap bisa survive di tengah pandemi. Semboyannya: "Go digital or die!!!"
(ysw)