Kisah Pelaku Wisata Lombok Terpaksa Banting Setir Demi Bertahan Hidup

Kamis, 24 Desember 2020 - 14:47 WIB
loading...
Kisah Pelaku Wisata Lombok Terpaksa Banting Setir Demi Bertahan Hidup
Para pelaku usaha terkait pariwisata di Lombok sebagian harus banting setir ke bidang lain untuk bertahan hidup setelah diterpa pandemi Covid-19. Foto/Hafid Fuad
A A A
JAKARTA - Pelaku industri pariwisata di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, terus dihantam cobaan dalam beberapa tahun terakhir. Masih teringat masyarakat Lombok berjuang bangkit pascarangkaian gempa bumi di tahun 2018 silam.

Kini cobaan lebih berat kembali menguji dengan pandemi Covid-19. Seluruh aktivitas sektor pariwisata Lombok terhenti, menyebabkan perumahan karyawan hingga pemutusan hubungan kerja. Sekarang Pemerintah mewajibkan untuk melakukan rapid test antigen H-3 sebelum pemberangkatan dan PCR test untuk masyarakat yang akan pergi berlibur.

(Baca Juga: Investasi Percepat Pemulihan Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif)

Sementara momen liburan akhir tahun dan tahun baru sangat diharapkan bisa menggairahkan kembali pariwisata Lombok. Akibatnya pelaku pariwisata Lombok harus terus berjuang sekedar mempertahankan hidup. Beragam profesi mereka lakukan demi bertahan hidup, mulai dari bertani hingga menjadi nelayan.

Salah satu yang berjuang adalah Rumini, perajin kain tenun songket di Desa Wisata Sukarara, Lombok. Janda usia 35 tahun itu bercerita sudah mulai menenun sejak usia 10 tahun. Tidak kurang dari 10 macam pola tenun mahir dikerjakannya. Namun untuk menghasilkan satu kain tenun ukuran 2x2 meter, dibutuhkan ketekunan selama satu hingga dua bulan.

"Biasanya kain dijual ke koperasi seharga Rp500 ribu. Tapi sejak pandemi belum ada yang terjual. Turis biasanya dari China sekarang tidak ada lagi," ujar Rumini saat ditemui di Lombok, beberapa waktu lalu.

Dirinya mengaku baru mulai aktif menenun kembali dalam dua bulan terakhir. Waktu yang dihabiskannya untuk menenun dalam sehari sekitar 8 jam. Sejak pandemi dia juga harus bekerja menggarap sawah demi menyambung hidup. Alih profesi ini marak dilakoni hampir seluruh pekerja pariwisata lainnya juga. "Saya bekerja di sawah karena tidak ada yang membeli kain," katanya.

Cerita perjuangan lainnya adalah Farouk Verdian yang sebelum pandemi telah berkarir sebagai front office manager di Hotel Origin, kawasan Mandalika. Namun akibat pandemi nasibnya berubah dan langsung dirumahkan dari bulan Maret lalu. "Saya jalani apapun yang penting bisa bertahan. Mulai dari kurir makanan, jadi dosen panggilan, jualan ikan cupang, sembako, pokoknya semua," kata Farouk.

Dia mengakui mayoritas pekerja pariwisata di Lombok terpaksa banting setir demi mencari penghidupan. Meskipun sebagian kecil juga masih ada yang masih bisa bekerja di hotel. "Mereka yang bertahan pun mendapat gaji tidak 100%. Mereka hanya dapat 25-50% per bulan," ceritanya.

Menurutnya pelaku bisnis hotel di Lombok saat ini lebih fokus berjualan untuk segmen domestik.
Meskipun pada bulan November terlihat ramai wisawatan ke Lombok namun ada faktor kegiatan meeting lembaga pemerintahan untuk mengejar penyerapan anggaran. "Bulan Desember sampai Maret di Lombok dan Bali pasti mulai bingung bagaimana mereka cara menjual kamar-kamar," terangnya.

Lebih lanjut dia menceritakan hotel-hotel di Lombok sekarang umumnya sudah lulus sertifikasi protokol kebersihan, kesehatan, keamanan, dan ramah lingkungan (cleanliness, health, safety, Environment/CHSE). Namun tetap saja itu tidak serta merta menjadi jawaban. "Karena tamu yang akan menginap tidak ada. Teman-teman agen travel di Lombok semua jual asetnya. Malah ada yang jadi petani," tambahnya.

Tren wisatawan lebih ramai ke Bali menurutnya wajar karena di Bali lebih banyak pilihan ragam hotel dan wisata. Namun tetap saja industri pariwisata harus banting harga serendah mungkin. "Sekarang yang penting bisa nutup operasional saja. Bali malah sangat berdampak dibandingkan Lombok. Karena Bali banyak bergantung pada wisatawan internasional," terangnya.

(Baca Juga: Kerap "Nyinyir" Program Jokowi-Maruf, Golkar Tantang Sandi Pulihkan Pariwisata)

Cerita pahit juga dialami Ernanda Agung yang sebelum pandemi memiliki posisi sebagai General Manager di Golden Palace Hotel Lombok. Dirinya juga menjabat sebagai Ketua IHGMA (Indonesia Hotel General Manager Association). Namun sejak pandemi dirinya juga terpaksa beralih profesi. "Saya sementara mengajar di Poltek Pariwisata sambil menunggu kondisi normal lagi," kata Ernanda saat dihubungi.

Dia bercerita perkembangan perhotelan di Lombok masih belum membaik. Meskipun dengan adanya new normal sudah membuka peluang pariwisata di NTB bergerak kembali. "Kita masih berjuang sampai sekarang," ujarnya.

Menurut dia sebenarnya agak sulit menjawab dampak penerapan protokol kesehatan di hotel-hotel. Karena ada banyak hal yang terkait. "Kalaupun kita siap dengan dengan protokol kesehatan tapi buying power dari masyarakat masih lemah maka ujungnya tidak akan ada permintaan. Jika tidak ada demand maka semua yang kita siapkan akan percuma," jelasnya.
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1394 seconds (0.1#10.140)