Era Baru Bisnis: Kolaborasi

Sabtu, 06 Februari 2021 - 16:05 WIB
loading...
A A A
“Yang rasio utangnya tinggi, itu akan berjibaku membayar itu dulu. Sekarang demand dan pendapatan drop, enggak mungkin bertahan. Yang lain bisa menyesuaikan diri, agak sehat mulai melakukan efisiensi, seperti pengurangan karyawan dan perumahan,” terangnya.

Mereka yang bisa efisiensi ini masuk ke gelombang dua. Namun, fundamentalnya keropos. Keuangannya terlihat bagus. Perusahaan-perusahaan ini biasanya memiliki beban biaya pada operasional yang besar. Pada saat permintaan besar, semua biaya yang inefisiensi itu bisa tertutup. Ketika pendapatan turun, pengeluaran yang selama ini tidak perlu menjadi masalah.

Pada gelombang tiga yang terjadi pada Agustus-September, menurutnya, perusahaan-perusahaan itu sudah bisa beradaptasi dengan pandemi. Namun, perusahaan-perusahaan memiliki kekakuan dengan masih mengandalkan model bisnis lama. Padahal, perusahaan lain mengalihkan bisnisnya atau melihat peluang yang bisa digarap di tengah pandemi.

Contohnya, PT Sritex itu membuat alat pelindung diri. Itu bagian dari beradaptasi dengan lingkungan baru. Perusahaan yang masih menggunakan model bisnis lama ini akan tamat pada gelombang ketiga ini. Dia menerangkan gelombang pada ini fase adaptasi, tapi waktunya masih lama sekitar 1-2 tahun ke depan.

Para pelaku usaha itu mulai mengambil langkah bekerja sama dengan pesaing. Lanskap dan pola bisnisnya memakai cara baru. Sebelum pandemi sudah ada yang mempraktikkan, yakni Blue Bird dengan perusahaan transportasi daring. Awalnya, mereka bersaing keras. Kini bekerja sama. “Akhirnya, dua-duanya hidup dan dua-duanya gede,” ucapnya.

Wahyu menjelaskan, pelaku usaha yang masih memikirkan diri sendiri dan kompetisi tidak akan survive pada gelombang terakhir ini. Mindset lama itu yang di dalam industri pesaing dan di luar itu memberikan tekanan. Kadang-kadang muncul usaha bagaimana mengalahkan pesaing Kalau perlu mematikan pesaing.

“Era baru ini sifatnya lebih kolaboratif. Contohnya, makan roti sendiri itu (bisanya) kecil. Kalau bersama temannya bisa makin gede. Jadi dapat lebih besar (juga). Kalau enggak mau kerja sama, malah enggak dapat roti. Sekarang harus kolaborasi untuk jadi konsorsium gede. Kalau enggak akan ketinggalan,” paparnya.

Wahyu menyatakan pandemi ini justru bisa jadi kesempatan Indonesia untuk bersaing negara lain. Menurut World Economic Forum, pandemi adalah the great reset. Ibarat balapan Formula I ketika ada kecelakaan, semua akan memulai balapan dari jarak yang berdekatan. Tidak berjauhan seperti sebelumnya.

“Indonesia masih menarik? Tentu saja karena Indonesia punya sumber daya alam yang tinggi. Itu tidak bisa dinafikan apalagi kita fokus di nikel untuk baterai listrik. Dunia sedang tertuju pada Indonesia. Sumber daya manusia (SDM) kita memang tidak merata, tapi ada yang bagus. Ada yang kurang banget. Jadi, human capital yang bagus banyak karena jumlah SDM-nya banyak,” katanya.

Senada itu dengan itu, Fithra menyatakan Indonesia harus memanfaatkan China Factor dan Relocation Factor. Dia menerangkan, ekonomi China sudah tumbuh, tetapi membutuhkan barang-barang dari ASEAN. China banyak mengimpor bahan baku dari ASEAN. Ini memang tren jangka pendek. Peluang lain datang dari Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa yang mulai mengalihkan basis produksinya dari China.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1961 seconds (0.1#10.140)