Kasus Rp20 Triliun di BPJS Ketenagakerjaan Diduga Melibatkan Mafia Pasar Modal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) bereaksi keras atas adanya dugaan korupsi terkait pengelolaan uang dan dana investasi di BPJS Ketenagakerjaan yang sedang diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) . Diperkirakan nilai kerugiannya mencapai Rp20 triliun.
Setelah kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun dan kasus korupsi PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sebesar 23,73 triliun, maka kasus yang terjadi di BPJS Ketenagakerjaan memperkuat dugaan adanya "mafia pasar modal" yang bergentayangan di Indonesia. ( Baca juga:Indikasi Salah Kelola Investasi Sampai 20 T, KSPI: Kok Bisa? )
Dugaan itu muncul karena dari ketiga skandal mega-korupsi tadi mempunyai kesamaan modus dan pelaku yang serupa. Modusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi. Pelakunya melibatkan pihak dengan latar belakang yang sama, antara lain oknum perusahaan efek/sekuritas dan oknum manajer investasi.
"Bahkan dalam skandal mega-korupsi Jiwasraya dan Asabri memunculkan nama yang sama yaitu Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro yang merupakan Komisaris PT Hanson International Tbk," ujar Presiden ASPEK Mirah Sumirat di Jakarta, Senin (15/2/2021).
Selain itu argumentasi dari semua pelaku seragam, yaitu kerugian atas resiko bisnis. Hal ini menjadi keprihatinan serius dari ASPEK Indonesia. "Kami mendukung Kejaksaan Agung untuk serius dan transparan dalam membongkar tuntas kasus yang merugikan masyarakat, khususnya para pekerja di Indonesia," tegasnya.
ASPEK Indonesia juga mendasarkan dugaan adanya "mafia pasar modal" pada tren melonjaknya laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) di pasar modal. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang belum lama ini dirilis menunjukkan sampai Desember 2020 lalu, transaksi mencurigakan di pasar modal menembus angka 443 kasus.
Angka itu melonjak 751,9% dibandingkan data 2019 yang hanya mencatatkan 52 kasus transaksi mencurigakan. Disebutkan oleh PPATK bahwa pertumbuhan transaksi gelap itu adalah yang tertinggi dari semua jenis kejahatan yang diidentifikasi oleh lembaga intelijen keuangan PPATK.
Pemerintah melalui Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, PPATK, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu semaksimal mungkin menjalankan kewenangannya agar kejahatan yang patut diduga dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi di pasar modal ini tidak lagi terjadi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga perlu memperkuat regulasi melalui perubahan undang-undang yang terkait pasar modal agar celah regulasi dapat diperbaiki.
Khusus terkait kasus BPJS Ketenagakerjaan, ini membuktikan bahwa Direksi BPJS Ketenagakerjaan selama ini telah gagal menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengelolaan dana jaminan sosial sebagai dana amanat seharusnya dikelola berdasarkan prinsip antara lain keterbukaan, kehati-hatian dan akuntabilitas, yang hasil pengelolaannya dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. ( Baca juga:Parlemen Rusia Sebut Kegagalan Makzulkan Trump Sudah Bisa Diprediksi Sejak Awal )
Mirah menegaskan, direksi BPJS Ketenagakerjaan wajib bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya pelaksanaan tata kelola yang baik, yang meliputi pengendalian internal (internal control) dan manajemen risiko, serta berakibat tidak terlindunginya kepentingan para pemangku kepentingan, dalam hal ini pekerja di Indonesia.
"ASPEK Indonesia juga meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kembali nama-nama calon direksi BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini ada di meja Presiden, untuk memastikan tidak adanya calon direksi yang terlibat dalam kasus mega-korupsi BPJS Ketenagakerjaan," tutup Mirah.
Setelah kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merugikan keuangan negara sebesar Rp16,8 triliun dan kasus korupsi PT Asabri (Persero) yang merugikan keuangan negara sebesar 23,73 triliun, maka kasus yang terjadi di BPJS Ketenagakerjaan memperkuat dugaan adanya "mafia pasar modal" yang bergentayangan di Indonesia. ( Baca juga:Indikasi Salah Kelola Investasi Sampai 20 T, KSPI: Kok Bisa? )
Dugaan itu muncul karena dari ketiga skandal mega-korupsi tadi mempunyai kesamaan modus dan pelaku yang serupa. Modusnya adalah dugaan tindak pidana korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi. Pelakunya melibatkan pihak dengan latar belakang yang sama, antara lain oknum perusahaan efek/sekuritas dan oknum manajer investasi.
"Bahkan dalam skandal mega-korupsi Jiwasraya dan Asabri memunculkan nama yang sama yaitu Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro yang merupakan Komisaris PT Hanson International Tbk," ujar Presiden ASPEK Mirah Sumirat di Jakarta, Senin (15/2/2021).
Selain itu argumentasi dari semua pelaku seragam, yaitu kerugian atas resiko bisnis. Hal ini menjadi keprihatinan serius dari ASPEK Indonesia. "Kami mendukung Kejaksaan Agung untuk serius dan transparan dalam membongkar tuntas kasus yang merugikan masyarakat, khususnya para pekerja di Indonesia," tegasnya.
ASPEK Indonesia juga mendasarkan dugaan adanya "mafia pasar modal" pada tren melonjaknya laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) di pasar modal. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang belum lama ini dirilis menunjukkan sampai Desember 2020 lalu, transaksi mencurigakan di pasar modal menembus angka 443 kasus.
Angka itu melonjak 751,9% dibandingkan data 2019 yang hanya mencatatkan 52 kasus transaksi mencurigakan. Disebutkan oleh PPATK bahwa pertumbuhan transaksi gelap itu adalah yang tertinggi dari semua jenis kejahatan yang diidentifikasi oleh lembaga intelijen keuangan PPATK.
Pemerintah melalui Kejaksaan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, PPATK, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu semaksimal mungkin menjalankan kewenangannya agar kejahatan yang patut diduga dilakukan oleh kelompok yang terorganisasi di pasar modal ini tidak lagi terjadi. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga perlu memperkuat regulasi melalui perubahan undang-undang yang terkait pasar modal agar celah regulasi dapat diperbaiki.
Khusus terkait kasus BPJS Ketenagakerjaan, ini membuktikan bahwa Direksi BPJS Ketenagakerjaan selama ini telah gagal menjalankan amanah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Pengelolaan dana jaminan sosial sebagai dana amanat seharusnya dikelola berdasarkan prinsip antara lain keterbukaan, kehati-hatian dan akuntabilitas, yang hasil pengelolaannya dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. ( Baca juga:Parlemen Rusia Sebut Kegagalan Makzulkan Trump Sudah Bisa Diprediksi Sejak Awal )
Mirah menegaskan, direksi BPJS Ketenagakerjaan wajib bertanggung jawab atas tidak terpenuhinya pelaksanaan tata kelola yang baik, yang meliputi pengendalian internal (internal control) dan manajemen risiko, serta berakibat tidak terlindunginya kepentingan para pemangku kepentingan, dalam hal ini pekerja di Indonesia.
"ASPEK Indonesia juga meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kembali nama-nama calon direksi BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini ada di meja Presiden, untuk memastikan tidak adanya calon direksi yang terlibat dalam kasus mega-korupsi BPJS Ketenagakerjaan," tutup Mirah.
(uka)