Urban Farming, Bertani di Lahan Mini Solusi Ketahanan Pangan
loading...
A
A
A
Peneliti urban farming dan biologi lingkungan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, Dian Armanda menyebut, urban farming memberi banyak manfaat, antara lain dari sisi ekologis, edukasi, estetika, ekonomi, dan kesehatan.
Secara ekologi, kata dia, dengan adanya tanaman di area perkotaan, lingkungan menjadi lebih hijau, dan oksigen lebih banyak serta pencemaran udara berkurang. Sedangkan manfaat edukasi, yakni masyarakat jadi belajar kembali ke dasar bahwa menanam itu sebenarnya adalah basic lifeskill manusia.
“Orang itu harus bisa menanam. Misalnya di masa pandemi ada orang terkena PHK, atau usaha bangkrut, dia bisa beralih menanam. Sekali bisa menanam, kita bisa hidup,” ujarnya.
Urban farming juga memberi manfaat estetika. Menurut Dian, kalau dulu tanaman hias itu hobi. “Baru terasa sekarang kalau makanan itu bisa jadi bagian dari estetika itu sendiri. Ketika tanam tanaman pangan ada juga nilai estetika,” ujarnya.
Manfaat ekonomi diperoleh karena hasil produksi urban farming bisa mengurangi ketergantungan dengan pasar karena sebagian makanan bisa diproduksi sendiri. Sedangkan manfaat kesehatan, urban farming memberi nilai terapi. “Ketika kita mampu memproduksi makanan atau pangan sendiri, di situ ada kepuasan yang tidak terbeli. Ini baru terasa ketika kita melakukannya,” paparnya.
Solusi Pangan Masa Depan
Di masa depan, kegiatan urban farming diyakini tidak lagi sekadar penyaluran hobi, melainkan bisa menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat perkotaan. Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan pada 2050, kebutuhan produksi pangan dunia meningkat hingga 50% jika dibandingkan 2012. Saat itu diperkirakan sebanyak 9,7 miliar penduduk bumi membutuhkan pangan dan 68% di antaranya adalah warga perkotaan.
Dian menyebut pertanian perdesaan di masa mendatang menemui banyak tantangan. Hal ini antara lain disebabkan makin banyaknya lahan konvensional yang beralih fungsi menjadi permukiman, ledakan jumlah penduduk, dan makin menurunnya jumlah petani. Dalam situasi ini urban farming semakin relevan sebagai solusi pangan masyarakat kota di masa depan.
Menurutnya, jika pada 1960 hingga 2000, terobosan pemenuhan pangan dilakukan dengan intensifikasi masif pertanian melalui revolusi hijau, maka sekarang urban farming menjadi harapan baru. “Saat ini innovative urban farming atau pertanian perkotaan inovatif adalah jawaban atas kebutuhan pangan,” ujarnya.
Dian yang juga kandidat doktor dari Institute of Environtmental Science, Leiden University, Belanda tersebut melakukan riset tentang prospek urban farming secara global dan telah dipublikasikan melalui jurnal internasional Global Food Security pada September 2019.
Berdasarkan riset tersebut, urban farming ke depan dinilai kian menjanjikan. Riset yang mengambil sejumlah sampel di lokasi urban farming komersial di Asia, Amerika, dan Eropa itu memperlihatkan bahwa sistem pertanian perkotaan tersebut bisa meningkatkan sumber pangan dengan efektif, efisien, dan terjangkau. “Pelajaran besar secara global ini bagi Indonesia, sebagai negara berkembang, pemenuhan kebutuhan pangan kita masih banyak bergantung dari desa, terutama makanan pokok. Terbaik kalau kalau mau bangkit, kita perlu lebih fokus pada urban farming, karena saat ini masih seperti kompelemen, pelengkap saja,” ujarnya.
Secara ekologi, kata dia, dengan adanya tanaman di area perkotaan, lingkungan menjadi lebih hijau, dan oksigen lebih banyak serta pencemaran udara berkurang. Sedangkan manfaat edukasi, yakni masyarakat jadi belajar kembali ke dasar bahwa menanam itu sebenarnya adalah basic lifeskill manusia.
“Orang itu harus bisa menanam. Misalnya di masa pandemi ada orang terkena PHK, atau usaha bangkrut, dia bisa beralih menanam. Sekali bisa menanam, kita bisa hidup,” ujarnya.
Urban farming juga memberi manfaat estetika. Menurut Dian, kalau dulu tanaman hias itu hobi. “Baru terasa sekarang kalau makanan itu bisa jadi bagian dari estetika itu sendiri. Ketika tanam tanaman pangan ada juga nilai estetika,” ujarnya.
Manfaat ekonomi diperoleh karena hasil produksi urban farming bisa mengurangi ketergantungan dengan pasar karena sebagian makanan bisa diproduksi sendiri. Sedangkan manfaat kesehatan, urban farming memberi nilai terapi. “Ketika kita mampu memproduksi makanan atau pangan sendiri, di situ ada kepuasan yang tidak terbeli. Ini baru terasa ketika kita melakukannya,” paparnya.
Solusi Pangan Masa Depan
Di masa depan, kegiatan urban farming diyakini tidak lagi sekadar penyaluran hobi, melainkan bisa menjadi solusi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat perkotaan. Badan Pangan Dunia (FAO) memperkirakan pada 2050, kebutuhan produksi pangan dunia meningkat hingga 50% jika dibandingkan 2012. Saat itu diperkirakan sebanyak 9,7 miliar penduduk bumi membutuhkan pangan dan 68% di antaranya adalah warga perkotaan.
Dian menyebut pertanian perdesaan di masa mendatang menemui banyak tantangan. Hal ini antara lain disebabkan makin banyaknya lahan konvensional yang beralih fungsi menjadi permukiman, ledakan jumlah penduduk, dan makin menurunnya jumlah petani. Dalam situasi ini urban farming semakin relevan sebagai solusi pangan masyarakat kota di masa depan.
Menurutnya, jika pada 1960 hingga 2000, terobosan pemenuhan pangan dilakukan dengan intensifikasi masif pertanian melalui revolusi hijau, maka sekarang urban farming menjadi harapan baru. “Saat ini innovative urban farming atau pertanian perkotaan inovatif adalah jawaban atas kebutuhan pangan,” ujarnya.
Dian yang juga kandidat doktor dari Institute of Environtmental Science, Leiden University, Belanda tersebut melakukan riset tentang prospek urban farming secara global dan telah dipublikasikan melalui jurnal internasional Global Food Security pada September 2019.
Berdasarkan riset tersebut, urban farming ke depan dinilai kian menjanjikan. Riset yang mengambil sejumlah sampel di lokasi urban farming komersial di Asia, Amerika, dan Eropa itu memperlihatkan bahwa sistem pertanian perkotaan tersebut bisa meningkatkan sumber pangan dengan efektif, efisien, dan terjangkau. “Pelajaran besar secara global ini bagi Indonesia, sebagai negara berkembang, pemenuhan kebutuhan pangan kita masih banyak bergantung dari desa, terutama makanan pokok. Terbaik kalau kalau mau bangkit, kita perlu lebih fokus pada urban farming, karena saat ini masih seperti kompelemen, pelengkap saja,” ujarnya.