Milenial pun Gandrung Bercocok Tanam
loading...
A
A
A
JAKARTA– Banyak pandangan yang mengatakan bahwa generasi muda dalam hal ini kalangan milenial tak mau menjadi petani. Namun, tren urban farming (bercocok tanam di perkotaan) menimbulkan fenomena baru. Sejumlah anak muda baik yang tergabung dalam komunitas maupun perorangan kini mulai senang bercocok tanam.
Fenomena ini tentu sebuah hal yang positif. Urban farming juga bisa menjadi pintu bagi kaum muda untuk lebih mengenal dan mencintai dunia pertanian, atau bahkan nantinya menjadi petani atau trennya dikenal dengan petani milenial. Tren urban farming kini bukan hanya untuk kemandirian pangan namun lebih bisnis. Sudah banyak kaum milenial memilih bidang pertanian sebagai peluang usaha baru.
“Dibutuhkan sosok sosok petani modern sukses yang dapat menginspirasi kaum muda untuk mau bertani. Sudah banyak, kaum muda yang hobi berkebun lalu merasakan manfaatnya. Biasanya mereka membuat komunitas yang menebar ilmu perlu disebarluaskan agar masyarakat terinspirasi," ujar peneliti Endang Tri Margawati dari Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.
Endang menambahkan, jika seseorang sudah memiliki jiwa bisnis akan cepat menangkap kebutuhan pasar. Sekalipun mereka baru di bidang pertanian, sudah paham tanaman apa saja yang suatu saat bisa sangat diinginkan masyarakat atau paling tidak untuk kebutuhan diri sendiri. Seperti cabe yang seringkali tiba-tiba mahal harganya. “Pemerintah hingga saat ini pun sudah tepat mendukung untuk memberikan pelatihan yang tujuannya untuk memicu pergerakan ekonomi. Selain pelatihan bertani sekarang juga sudah banyak ilmu soal mengemas hasil pertanian, daripackaginghingga pemasaranonline," kata dia.
Membangun Komunitas
Bagi warga perkotaan tentunya tidak lagi ada alasan untuk tidak memulai giat bercocok tanam. Sebab, kini komunitas urban farming sudah menjamur terutama komunitas urban farming dari kalangan anak-anak muda. Mereka berkumpul untuk berbagi ilmu soal pertanian, hingga saling membantu menjual hasil pertanian sesama anggota komunitas. Para anggota komunitas pun bahkan membuat komunitas lagi untuk semakin meluaskan jejaring membantu para petani modern pemula dengan berbagai fokus mereka.
Seperti yang dilakukan Gibran Tragari, yang kini aktif di Indonesia Berkebun dan Depok Berkebun. Dengan komunitasnya ini, dirinya makin terpacu untuk terus berbagi ilmu dan pengalaman bercocok tanam, bahkan membuat komunitas baru lagi, yakni Sendalu Permaculture. Ada misi besar yang ingin dibawa Gibran bersama komunitasnya ini, yakni bercocok tanam sembari melestarikan lingkungan. Gibran menularkan konsep bercocok tanam ramah lingkungan, sepertipemilahan sampah, pengurangan konsumsi, hingga pengolahan sisa sampah organik untuk dijadikan kompos. Manajemen air juga diperhatikan. Di mana air yang digunakan akan ditampung untuk digunakan kembali, sedangkan sisanya dialirkan agar terserap ke dalam tanah.
“Banyak manfaat dari aktivitas urban farming ini salah satunya mampu membangun kemandirian pangan. Keuntungan urban farming dirasakan bermacam-macam tergantung kebutuhan. Misalnya para ibu mereka mulai bercocok tanam supaya tidak belanja sayuran lagi, sehingga dapat lebih hemat pengeluaran. Bagi aktivis lingkungan mereka memang memikirkan manfaat bagi lingkungan sekitar. Kalau kita berkebun berarti kita menyerap air, dapat mengurangi banjir," jelas Gibran.
Gibran mengakui, di situasi pandemi sekarang ini urban farming menjadi salah satu aktivitas paling masuk akal untuk menjaga kesehatan. "Olahraga membuat sehat. Tapi makanan yang dikonsumsi juga harus sehat. Maka banyak masyarakat kota yang mulai menanam sendiri untuk meyakinkan diri mereka, bahwa yang mereka konsumsi menyehatkan.
Hasil menanam sendiri memang jelas akan lebih sehat karena untuk dikonsumsi sendiri. Sehingga kita menjadi lebih tahu apa yang terjadi pada tanaman yang kita tanam. Adanya kekhawatiran bahwa hasil panen dari urban farming tidak sehatkarena di perkotaan banyak polusi, hujan asam dan lainnya. Menurut Gibran itu hanya kekhawatiran tak mendasar. “Jika dibandingkan dengan sayuran yang kita tidak tahu di mana ditanamnya dan siapa yang menanam, itu yang seharusnya membuat kita lebih khawatir. Bisa saja penggunaaan pestisida yang sangat banyak. Sementara, jika menanam sendiri dipastikan kita tidak mungkin akan menggunakan bahan seperti itu. Soal polusi, dapat disiasati oleh para pelaku urban farming ini dengan selalu mengontrol posisi tanaman agar jauh dari polusi,” ulasnya.
Fenomena ini tentu sebuah hal yang positif. Urban farming juga bisa menjadi pintu bagi kaum muda untuk lebih mengenal dan mencintai dunia pertanian, atau bahkan nantinya menjadi petani atau trennya dikenal dengan petani milenial. Tren urban farming kini bukan hanya untuk kemandirian pangan namun lebih bisnis. Sudah banyak kaum milenial memilih bidang pertanian sebagai peluang usaha baru.
“Dibutuhkan sosok sosok petani modern sukses yang dapat menginspirasi kaum muda untuk mau bertani. Sudah banyak, kaum muda yang hobi berkebun lalu merasakan manfaatnya. Biasanya mereka membuat komunitas yang menebar ilmu perlu disebarluaskan agar masyarakat terinspirasi," ujar peneliti Endang Tri Margawati dari Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.
Endang menambahkan, jika seseorang sudah memiliki jiwa bisnis akan cepat menangkap kebutuhan pasar. Sekalipun mereka baru di bidang pertanian, sudah paham tanaman apa saja yang suatu saat bisa sangat diinginkan masyarakat atau paling tidak untuk kebutuhan diri sendiri. Seperti cabe yang seringkali tiba-tiba mahal harganya. “Pemerintah hingga saat ini pun sudah tepat mendukung untuk memberikan pelatihan yang tujuannya untuk memicu pergerakan ekonomi. Selain pelatihan bertani sekarang juga sudah banyak ilmu soal mengemas hasil pertanian, daripackaginghingga pemasaranonline," kata dia.
Membangun Komunitas
Bagi warga perkotaan tentunya tidak lagi ada alasan untuk tidak memulai giat bercocok tanam. Sebab, kini komunitas urban farming sudah menjamur terutama komunitas urban farming dari kalangan anak-anak muda. Mereka berkumpul untuk berbagi ilmu soal pertanian, hingga saling membantu menjual hasil pertanian sesama anggota komunitas. Para anggota komunitas pun bahkan membuat komunitas lagi untuk semakin meluaskan jejaring membantu para petani modern pemula dengan berbagai fokus mereka.
Seperti yang dilakukan Gibran Tragari, yang kini aktif di Indonesia Berkebun dan Depok Berkebun. Dengan komunitasnya ini, dirinya makin terpacu untuk terus berbagi ilmu dan pengalaman bercocok tanam, bahkan membuat komunitas baru lagi, yakni Sendalu Permaculture. Ada misi besar yang ingin dibawa Gibran bersama komunitasnya ini, yakni bercocok tanam sembari melestarikan lingkungan. Gibran menularkan konsep bercocok tanam ramah lingkungan, sepertipemilahan sampah, pengurangan konsumsi, hingga pengolahan sisa sampah organik untuk dijadikan kompos. Manajemen air juga diperhatikan. Di mana air yang digunakan akan ditampung untuk digunakan kembali, sedangkan sisanya dialirkan agar terserap ke dalam tanah.
“Banyak manfaat dari aktivitas urban farming ini salah satunya mampu membangun kemandirian pangan. Keuntungan urban farming dirasakan bermacam-macam tergantung kebutuhan. Misalnya para ibu mereka mulai bercocok tanam supaya tidak belanja sayuran lagi, sehingga dapat lebih hemat pengeluaran. Bagi aktivis lingkungan mereka memang memikirkan manfaat bagi lingkungan sekitar. Kalau kita berkebun berarti kita menyerap air, dapat mengurangi banjir," jelas Gibran.
Gibran mengakui, di situasi pandemi sekarang ini urban farming menjadi salah satu aktivitas paling masuk akal untuk menjaga kesehatan. "Olahraga membuat sehat. Tapi makanan yang dikonsumsi juga harus sehat. Maka banyak masyarakat kota yang mulai menanam sendiri untuk meyakinkan diri mereka, bahwa yang mereka konsumsi menyehatkan.
Hasil menanam sendiri memang jelas akan lebih sehat karena untuk dikonsumsi sendiri. Sehingga kita menjadi lebih tahu apa yang terjadi pada tanaman yang kita tanam. Adanya kekhawatiran bahwa hasil panen dari urban farming tidak sehatkarena di perkotaan banyak polusi, hujan asam dan lainnya. Menurut Gibran itu hanya kekhawatiran tak mendasar. “Jika dibandingkan dengan sayuran yang kita tidak tahu di mana ditanamnya dan siapa yang menanam, itu yang seharusnya membuat kita lebih khawatir. Bisa saja penggunaaan pestisida yang sangat banyak. Sementara, jika menanam sendiri dipastikan kita tidak mungkin akan menggunakan bahan seperti itu. Soal polusi, dapat disiasati oleh para pelaku urban farming ini dengan selalu mengontrol posisi tanaman agar jauh dari polusi,” ulasnya.