Soal RUU KUP, Pemerintah Harus Transparan Terkait Kondisi Keuangan Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior Fadhil Hasan menyarankan pemerintah lebih transparan terkait usulan RUU KUP, terutama terkait proyeksi penerimaan APBN di jangka waktu menengah dan panjang.
“Polemik menaikan PPN 15%, memburu orang super-kaya dengan 35% tarif OP dan tax amnesty jilid II seharusnya dibingkai dalam kerangka transparansi proyeksi penerimaan negara di masa depan,” ujar Fadhil Hasan, Jumat (28/5/2021).
Fadhil yang juga pendiri Narasi Institute berpendapat untuk lebih memahami revisi UU perpajakan, perlu mengetahui kondisi sesungguhnya anggaran negara, baik jangka pendek dan terutama jangja menengah. Biasanya pemerintah memiliki medium term of government revenue and expenditure yang berisi proyeksi penerimaan dan pengeluaran dalam jangka menengah (lima tahun).
Baca juga: Anak Buah Sri Mulyani Terus Kejar Utang Bambang Tri dan Aburizal Bakrie
“Dalam jangka pendek sebenarnya dengan UU No. 2/2020 BI sudah bersedia mendukung pemerintah lewat skema burden sharing untuk memastikan kesehatan dan keberlanjutan dari fiskal. Namun tampaknya, berdasarkan proyeksi jangka menengah, pemerintah masih akan memiliki defisit yang besar dari 3% pada tahun 2023 dan tahun-tahun selanjutnya. Di sisi lain BI tidak bisa lagi memberikan dukungan bagi keberlanjutan anggaran pemerintah. Karenanya, diperlukan kebijakan untuk menggenjot penerimaan lewat berbagai instrumen perpajakan," terang Fadhil.
Fadhil melihat alasan pemerintah mengajukan RUU KUP karena ingin mengambil langkah extra ordinary dan kontroversial melalui peningkatan PPN, penambahan layer baru dalam PPh, dan tax amnesty.
Namun Fadhil mempertanyakan apakah rencana tersebut akan mampu meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan fiskal, mempertahankan dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional? Atau justru sebaliknya, memperberat beban masyarakat dan menahan laju pemulihan ekonomi?
Fadhil menyarankan pemerintah perlu juga mengkaji apakah langkah ini mencerminkan ketidakadilan dan diskriminasi dalam masyarakat, terutama kaitannya dengan peningkatan PPN dan tax amnesty.
“Pengalaman menunjukkan bahwa program tax amnesty jilid I dianggap setengah berhasil karena capaiannya di bawah target yang ditetapkan pemerintah, selain itu jumlah repatriasi dana relatif lebih kecil daripada yang diproyeksikan," kata Fadhil.
Fadhil berkeyakinan bahwa keberhasilan tax amnesty akan sangat tergantung dari kredibilitas pemerintah sendiri dalam mendesain dan melaksanakan program ini.
“Polemik menaikan PPN 15%, memburu orang super-kaya dengan 35% tarif OP dan tax amnesty jilid II seharusnya dibingkai dalam kerangka transparansi proyeksi penerimaan negara di masa depan,” ujar Fadhil Hasan, Jumat (28/5/2021).
Fadhil yang juga pendiri Narasi Institute berpendapat untuk lebih memahami revisi UU perpajakan, perlu mengetahui kondisi sesungguhnya anggaran negara, baik jangka pendek dan terutama jangja menengah. Biasanya pemerintah memiliki medium term of government revenue and expenditure yang berisi proyeksi penerimaan dan pengeluaran dalam jangka menengah (lima tahun).
Baca juga: Anak Buah Sri Mulyani Terus Kejar Utang Bambang Tri dan Aburizal Bakrie
“Dalam jangka pendek sebenarnya dengan UU No. 2/2020 BI sudah bersedia mendukung pemerintah lewat skema burden sharing untuk memastikan kesehatan dan keberlanjutan dari fiskal. Namun tampaknya, berdasarkan proyeksi jangka menengah, pemerintah masih akan memiliki defisit yang besar dari 3% pada tahun 2023 dan tahun-tahun selanjutnya. Di sisi lain BI tidak bisa lagi memberikan dukungan bagi keberlanjutan anggaran pemerintah. Karenanya, diperlukan kebijakan untuk menggenjot penerimaan lewat berbagai instrumen perpajakan," terang Fadhil.
Fadhil melihat alasan pemerintah mengajukan RUU KUP karena ingin mengambil langkah extra ordinary dan kontroversial melalui peningkatan PPN, penambahan layer baru dalam PPh, dan tax amnesty.
Namun Fadhil mempertanyakan apakah rencana tersebut akan mampu meningkatkan ketahanan dan keberlanjutan fiskal, mempertahankan dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional? Atau justru sebaliknya, memperberat beban masyarakat dan menahan laju pemulihan ekonomi?
Fadhil menyarankan pemerintah perlu juga mengkaji apakah langkah ini mencerminkan ketidakadilan dan diskriminasi dalam masyarakat, terutama kaitannya dengan peningkatan PPN dan tax amnesty.
“Pengalaman menunjukkan bahwa program tax amnesty jilid I dianggap setengah berhasil karena capaiannya di bawah target yang ditetapkan pemerintah, selain itu jumlah repatriasi dana relatif lebih kecil daripada yang diproyeksikan," kata Fadhil.
Fadhil berkeyakinan bahwa keberhasilan tax amnesty akan sangat tergantung dari kredibilitas pemerintah sendiri dalam mendesain dan melaksanakan program ini.