Pengamat Luruskan Salah Kaprah Soal Draf RUU Cipta Kerja

Rabu, 27 Mei 2020 - 20:27 WIB
loading...
A A A
Sambung dia menambahkan, dengan adanya waktu kerja yang fleksibel akan membuka peluang kerja bagi ibu rumah tangga dan para generasi milenial untuk bisa bekerja di dua tempat sekaligus. Apalagi kedepan, ungkapnya Indonesia akan memasuki bonus demografi yang mayoritas pekerja berasal dari generasi milenial.

“Kelima, adanya isu tenaga kerja asing terutama buruh kasar akan bekerja di Indonesia dengan bebas. Padahal kenyataannya tenaga kerja asing semakin diperketat untuk bisa bekerja di Indonesia. Jadi bagi tenaga kerja asing ada beberapa jenis pekerjaan yang tidak memerlukan izin kerja, seperti diplomat, tenaga kerja keagaaman, pendidik vokasi dan beberapa pekerjaan strategis lainnya," ujarnya.

Kemudian Ia mengungkapkan saat ini untuk bisa bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing harus bisa menunjukkan sertifikasi dari perusahaan sponsor. Hal itu untuk membuktikan kompetensi yang dimiliki. Kemudian tenaga kerja asing juga harus dapat alih teknologi atau transfer kelimuan kepada pekerja Indonesia.

“Jadi apabila tenaga kerja asing tidak mampu alih teknologi secara otomatis tidak bisa bekerja di Indonesia. Kemudian, ada lagi yang berat bahwa tenaga kerja asing harus bisa membayar pajak sebesar USD1200 pertahun. Artinya dengan ketatnya seleksi ini tentulah tenaga kerja kasar atau buruh kasar akan sulit bekerja di Indonesia," jelas Bambang

Keenam, hilangnya jaminan sosial. Padahal menurutnya tidak ada penghilangan jaminan sosial, bahkan dalam Omnibus Law akan banyak jaminan yang wajib disediakan oleh perusahan bagi pekerja. Seperti jaminan kesehatan, jaminan keselamatan kerja, bahkan tabungan perumahan rakyat. Selain itu dalam Omnibus Law akan diberikan jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja.

Ketujuh adanya isu bahwa pemutusan hubungan kerja akan dipermudah. "Tentu tidak demikian, dalam Omnibus Law perusahaan tidak bisa semena-mena untuk bisa mem-PHK para pekerja. Bahkan ketika terjadi PHK dan belum ada putusan final maka pekerja tersebut harus tetap diberikan upah oleh perusahaan," terang dia.

Kedelapan, bahwa tidak benar cuti hamil, haid, menyusui dan tahunan akan dihapus bagi pekerja perempuan. Meskipun tidak ada dalam Omnibus Law, akan tetapi khusus aturan ini tetap mengacu pada UU Ketenagakerjaa No 13 tahun 2003 yang mana aturan cuti bagi pekerja perempuan, baik menyusui, hamil, menikah atau tahunan tetap akan berlaku seperti sedia kala.

“Kesembilan, hilangnya pasal pidana bagi perusahaan. Padahal dalam Omnibus Law pemerintah menjamin bahwa sanksi pidana terhadap perusahaan yang semana-mena kepada pekerja akan tetap berlaku. Misal, bila ditemui perusahan yang tidak memberikan cuti hamil kepada pekerja perempuan, maka secara otomatis pasal pidana akan berlaku terhadap perusahaan tersebut. Dengan begitu, tidak benar bila pasal pidana bagi perusahaan yang semena-mena akan dihapus," ujarnya.

Poin-poin diatas inilah yang menurut Direktur Institute for Digital Democracy harus terus dicermati agar kedepan kita tidak lagi ada yang salah kaprah dimasyarakat perihal Omnibus Law Cipta Kerja.

"Sebab bila ditelisik RUU Cipta Kerja adalah reformasi perundangan untuk melindungi pekerja Indonesia serta memperkuat tatanan perekonomian Indonesia kedepan dan bukan ada tujuan yang lain,” jelas Bambang Arianto yang juga peneliti Akuntansi Forensik di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Univeristas Nahdlatul Ulama (LPPM UNU) Yogyakarta.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1400 seconds (0.1#10.140)