Garap Proyek Pengadaan Listrik, Swasta Perlu Memahami Berbagai Hukumnya

Kamis, 12 Agustus 2021 - 13:09 WIB
loading...
Garap Proyek Pengadaan Listrik, Swasta Perlu Memahami Berbagai Hukumnya
Yohanes mengatakan, untuk menjalani proyek pengadaan listrik, setiap swasta perlu memahami berbagai masalah hukumnya. Kalau tidak, dampaknya bisa menghambat proses pembangunan proyek. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Dalam struktur industri penyediaan tenaga listrik Indonesia saat ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, PLN masih menjadi satu-satunya badan yang diprioritaskan untuk menyediakan tenaga listrik di Indonesia, dan juga satu-satunya pemilik sarana/aset untuk melakukan pengiriman dan pendistribusian listrik di dalam negeri.

Pihak swasta dapat memproduksi listrik untuk keperluannya sendiri ataupun untuk dijual. Namun apabila produksi listrik dilakukan dalam skala besar, pihak swasta harus melakukannya dengan mendirikan Pengembang Listrik Swasta (Independent Power Producer atau IPP) dan menjual tenaga listrik yang dihasilkannya kepada PLN dengan menandatangani Perjanjian Penjualan Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL).



Kehadiran IPP sebagai investor sangat penting untuk mencapai target energi nasional karena PLN hampir tidak mungkin mengerjakan semua tugas tersebut dengan sendirinya. Oleh karena itu, perlu diciptakan iklim investasi yang tepat untuk meningkatkan pengembangan industrik listrik di Indonesia.

Sayangnya, proyek pengadaan listrik oleh swasta di Indonesia seringkali mengalami kendala. Pada tahun 2017, dari 70 kontrak yang ditandatangani oleh PLN dengan IPP, hanya 17 proyek yang bisa maju ke tahap konstruksi. Sekitar 46 proyek harus dievaluasi kembali, atau bahkan dihentikan oleh pemerintah.

Kegagalan proyek tersebut diduga terjadi karena masalah keuangan, misalnya pinjaman yang tidak disetujui dan tingkat pengembalian investasi (Internal Rate of Return atau IRR) yang tidak menarik. Banyak juga yang yakin bahwa harga pembelian listrik (Feed-In Tariff) yang diusulkan oleh pemerintah jauh lebih rendah daripada Biaya Penyediaan Pokok (BPP).

Yohanes Masengi adalah salah satu pengacara yang telah malang melintang selama lebih dari 15 tahun mewakili project company/project owner atau sponsor dalam menegosiasikan kontrak pembiayaan proyek ketenagalistrikan dan infrastruktur berskala besar di Indonesia.

Selain dari negosiasi kontrak, Yohanes Masengi juga berperan dalam pengadaan tanah untuk beberapa proyek besar. Salah satu transaksi besar yang pernah ditangani ialah mewakili PT Bhumi Jati Power dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara 2 x 1.000 MW (Tanjung Jati B 5&6) di Tanjung Jati B, Jepara, Indonesia.



Yohanes juga pernah mewakili PT Cirebon Energi Prasarana dalam pembangunan PLTU 1 x 1.000 MW yang berlokasi di Cirebon, serta mewakili PT Toba Bara Sejahtera sehubungan dengan pengembangan 2 (dua) proyek ketenagalistrikannya, yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batu Bara Sulbagut 1 (Pembangkit 2 x 50 MW) dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batu Bara SULUT-3 (pembangkit 2 x 50 MW).

“Untuk menjalani proyek pengadaan listrik, setiap swasta perlu memahami berbagai masalah hukumnya. Kalau tidak, dampaknya bisa menghambat proses pembangunan proyek atau bahkan diberhentikan. Mereka perlu dibantu serta diberikan saran dan panduan hukum agar terhindar dari situasi tersebut.”

Yohanes Masengi lulus dari Fakultas Hukum UI pada tahun 2005 dan telah menjadi sekutu di Firma Hukum Makarim & Taira S sejak tahun 2017. Saat ini, dia telah memiliki pengalaman dan rekam jejak yang luas dalam mewakili berbagai perusahaan terkemuka mengembangkan proyek-proyek besar di Indonesia.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1646 seconds (0.1#10.140)