Produktivitas Turun dan Daya Saing Ranking 40, Industri Manufaktur RI Harus Berbenah

Sabtu, 09 Oktober 2021 - 20:44 WIB
loading...
Produktivitas Turun dan Daya Saing Ranking 40, Industri Manufaktur RI Harus Berbenah
Industri manufaktur harus berbenah. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Peneliti Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menjelaskan bahwa daya saing industri manufaktur Indonesia berada di peringkat 40 diantara 152 negara, di mana nilai tambah sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) adalah 20 persen pada 2019.

“Ada penurunan di tahun 2020, akibat dari pandemi. Lalu perlu diketahui juga sektor manufaktur kita, 44 persennya bergerak di bidang resource based, 25 persen low tech, 26 persen medium tech, dan 4,8 high tech. Jadi memang industri kita masih berbasis komoditas sumber daya alam (SDA), mengingat SDA kita berlimpah ruah,” kata Eisha dalam webinar Indef dengan topik Urgensi Peningkatan Daya Saing Industri dalam Meningkatkan Ekspor, Sabtu (9/10/2021).



Eisha lantas membeberkan kinerja industri manufaktur. Berdasarkan data sejak 1988 hingga 2018, terjadi penurunan produktivitas industri manufaktur. “Kita lihat mulai dari semenjak krisis 1998, produktivitasnya 11 persen dan terus menurun hingga mencapai titik akhir di 5 persen. Dari data ini dapat disimpulkan industri manufaktur kita terjadi penurunan produktivitasnya. Ini juga terlihat dari kapasitas utilisasi industri pengolahan yang tidak bisa mencapai 100 persen, melainkan hanya mampu memanfaatkan sampai dengan 70 persen,” urainya.

Eisha mengungkapkan, ekonomi Indonesia bisa tumbuh pada kisaran 5-6 persen tapi dengan datangnya pandemi perekonomian merosot ke -2,1 persen. Sedangkan sebelum krisis 1998, Indonesia mampu tumbuh 11 persen.

Terkait hal itu, dia melanjutkan, terlihat dari indeks produksi dan purchasing managers index (PMI) bahwa yang terjadi pada saat pandemi 2019 ke 2021, indeks produksi mengalami penurunan ke 131 dan PMI turun ke 40,10.



“Pandemi Covid-19 ini berdampak sekali terhadap pertumbuhan ekonomi kita terutama di sektor industri manufaktur. Sehingga neraca perdagangan secara makro walaupun kita selalu positif tapi ada masa-masa tertentu kita mengalami neraca perdagangan negatif. Ini menjadi masalah yang serius dan harus ada penopang sektor manufaktur,” terang Eisha.

Eisha menambahkan, mengenai ekspor di sektor non-migas, perlu adanya peningkatan. Pasalnya, pertumbuhan ekspor untuk industri pengolahan berdasarkan share ekspor pada Januari 2019 hingga 2020, memiliki peran di dalam ekspor non-migas Indonesia.

“Potensi ekspor kita perlu dioptimalkan dengan cara meningkatkan nilai tambah produk komoditas sumber daya alam untuk dijadikan produk yang memiliki nilai tambah tinggi. Misalnya, seperti komoditas nikel di hilirisasi untuk industri baterai lithium dan mobil listrik,” urainya.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2825 seconds (0.1#10.140)