Mengejar Penerimaan Negara Harus Dilakukan dengan Berkeadilan

Selasa, 12 Oktober 2021 - 10:06 WIB
loading...
Mengejar Penerimaan...
Pemerintah terus berupaya mengejar target penerimaan perpajakan. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Sejumlah upaya terus dilakukan untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak . Teranyar adalah disahkannya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diharapkan bisa menjadikan Indonesia semakin siap menghadapi perkembangan ekonomi di masa mendatang.

Meski menimbulkan banyak pro-kontra, namun aturan perpajakan terbaru diharapkan bisa mempercepat tujuan reformasi perpajakan sehingga lebih berkeadilan. Namun demikian pemerintah harus bisa menjawab tantangan dalam menggenjot penerimaan negara dengan meningkatkan penegakan aturan serta perbaikan tata cara pengumpulan pajak dengan mengadopsi teknologi.



Kedua faktor tersebut merupakan keniscayaan karena penetrasi perkembangan teknologi kian baik di Tanah Air. Di sisi lain, semakin besarnya jumlah wajib pajak dari tahun ke tahun menjadi potensi tersendiri dalam upaya meningkatkan penerimaan negara.

Seperti diketahui, target penerimaan perpajakan Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Tahun depan misalnya, pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) peniermaan perpajakan ditetapkan sebesar Rp1.510 triliun. Angka ini naik dibanding target tahun ini sebesar Rp1.444,54trilun.

Menilik beleid perpajakan yang baru disahkan beberapa waktu lalu, dengan tegas pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan bahwa aturan itu dibuat demi menciptakan pajak yang lebih berkeadilan, sehat, efektif dan efisien.

UU HPP juga diklaim untuk melindungi masyarakat menengah bawah maupun usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Yang jelas, UU HPP juga dimaksudkan untuk memperkuat basis data perpajakan sehingga dalam praktiknya nanti bisa mempermudah pemerintah dalam merealisasikannya.



Sri Mulyani juga menepis isu bakal adanya kenaikan harga akibat dinaikkannya pajak pertambahan nilai (PPn) pada sejumlah sektor.

"Untuk memperkuat basis data perpajakan, dalam RUU HPP, Sembako, Jasa Kesehatan, dan Jasa Pendidikan menjadi Barang/Jasa Kena Pajak dengan pemberian fasilitas pembebasan PPN. Sehingga, tidak ada perubahan atau kenaikan harga yang memberatkan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah," ujar Sri Mulyani dalam Instagram resminya dikutip, Minggu (10/10).

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menyatakan, UU HPP harus dilihat secara komprehensif. Menurut dia, dengan penerapan dan pelaksanaan UU HPP maka akan terjadi peningkatan penerimaan negara dan rasio pajak (tax ratio).

Menurut Suahasil, saat ini tax ratio Indonesia berada di angka 8,4%. Angka tersebut menunjukkan kondisi tax ratio yang tidak sehat untuk bisa membuat negara jadi kuat.

Dia membeberkan, keberadaan dan penerapan UU HPP diharapkan bisa menaikkan tax ratio dari 8,4% menjadi 9,4% pada 2024 dan bahkan mencapai 10% pada 2025.

Dia mengungkapkan, dengan basis penerimaan yang baik sembari mempertajam terus belanja-belanja negara, akan mendorong pembangunan dengan basis UU HPP.

“Indonesia ingin memastikan bahwa APBN makin lama makin sehat, penerimaannya meningkat, dan nanti belanjanya juga menjadi lebih baik,” kata dia seperti dikutip dari situs resmi Kementerian Keuangan kemarin.

Dia juga menegaskan bahwa dengan adanya kenaikan PPn 11% tahun depan dan 12% pada 1 Januari 2025, hal itu merupakan langkah untuk membuat basis pajak menjadi lebih luas, dan lebih kuat untuk menopang pembangunan. “Itu akan menopang belanja negara kita," ujar Suahasil.

Terkait simpang siurnya informasi yang menyebutkan bakal adanya pajak sembako, klinik, dan sekolah Pemerintah bersama DPR telah memastikan bahwa sektor-sektor tersebut bebas dari pungutan pajak. Hal itu dipastikan setelah disahkannya UU HPP pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis (7/10).

Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengatakan, alasan pemerintah dan DPR tidak menetapkan pajak pada sektor tersebut karena keberpihakannnya kepada masyarakat. Komitmen tersebut dibuktikan dengan adanya fasilitas pembebasan PPN atas barang pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial. Skema PPN final untuk sektor tertentu serta penyesuaian tarif PPN secara bertahap akan diterapkan sampai 2025 mendatang.

"Kita berpihak masyarakat bawah dengan pemberian fasilitas pembebasan PPN atas barang pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa keuangan, dan jasa pelayanan sosial, skema PPN final untuk sektor tertentu, penyesuaian tarif PPN secara bertahap sampai dengan tahun 2025," kata Dito dalam video virtual, Kamis (7/10).

Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan, untuk meningkatkan penerimaan perpajakan tidak cukup hanya dengan adanya regulasi. Lebih dari itu, pemerintah harus mempu menegakkan aturan dengan konsisten serta perbaikan sistem pemungutan pajak.

“Harus ada perbaikan dalam sistem perpajakan. Dengan pelayanan yangn lebih cepat dan mudah akan membantu wajib pajak menunaikan kewajibannya membayar pajak,” kata Fadhil saat dihubungi kemarin.

Selain itu, kata dia, perbaikan sistem juga bisa dilakukan dengan cara digitalisasi guna menghindari adanya upaya manipulatif sehingga tidak ada main mata antara wajib pajak dan petugas.

“Kemudian juga aparat pajak harus punya integritas yang capable sehingga tidak mudah dirayu (oleh wajib pajak),” ucapnya.

Terkait UU HPP yang baru saja disahkan, Fadhil mengatakan bahwa hal itu bertujuan untuk mengedalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi 3% dari produk domestik bruto pada 2023.

“Jadi, ketika pada 2023 diprediksi kondisi sudah normal. Pemerintah akan lebih leluasa, tidak seperti sekarang ini,” katanya.

Terkait pajak 35% bagi yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar, menurut dia, dalam perpajakan prinsipnya adalah yang memiliki kemampuan besar maka harus membayar pajak besar. Hal itu untuk menerapkan sistem yang berkeadilan.

Agar wajib pajak tidak mangkir, kata dia, maka bergantung pada pelaksanaan di lapangan. Diakuinya, ketika wajib pajak memiliki nilai besar yang harus dibayarkan maka ada kecenderungan untuk melakukan upaya manipulatif. Akan tetapi, hal itu bisa dicegah dengan penegakan aturan yang tegas.

“Tergantung law enforcement. Jangan sampai terjadi upaya manipulatif, karena ada istilah semakin besar tingkat pajak semakin berupaya untuk membayar pajak dan ada oknum yang berupaya melakukan manipulatif,” ungkapnya.

Gunakan Jurus Lama Lewat Tax Amnesty II
Salah satu yang menjadi sorotan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pekan lalu oleh DPR adalah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II . Program yang digadang-gadang menjadi andalan untuk menarik penerimaan pajak tahun depan itu pun mendapat kritikan dari sejumlah kalangan karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan sebelumnya.

Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memandang, program tax amnesty jilid II yang tertuang dalam RUU HPP menujukkan bahwa beleid terbaru itu tidak sepenuhnya menggambarkan adanya reformasi perpajakan seperti yang diklaim pemerintah.

Dia menyebut, adanya program pengampunan pajak Jilid II yang dianggap bertolak belakang dengan semangat reformasi perpajakan. Menurutnya, program tersebut akan membuat pemerintah seakan tidak konisten dengan pernyataannya pada 2016, di mana dinyatakan pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali saja.

"Sebaiknya pemerintah konsisten dalam hal ini pengampunan pajak dan tidak perlu khawatir kalau kehilangan momentum kalau tidak mengecek wajib pajak yang lalai," lanjutnya.

‎Di sisi lain, adanya kebijakan pengampunan pajak jilid II yang akan dimulai pada 1 Januari 2022 itu dinilai akan berdampak negatif pada ekonomi nasional. Bahkan, kepercayaan pembayaran pajak bisa turun karena adanya tax amnesty.

Pasalnya, program tersebut justru menggangu psikologi pembayar pajak yang lebih memilih untuk menunggu tax amnesty jilid berikutnya.

"Mereka berpikir buat apa patuh pajak, pasti ada tax amensty berikutnya. Tentunya ini blunder ke penerimaan negara," tegasnya.

Hadirnya tax amnesty, kata dia, juga diperkirakan tidak mampu meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Faisal mengatakan hal ini bisa terlihat dari rasio pajak yang selalu menurun dari priode 2018 sampai 2020 sebesar 8,3%.

"Dengan melihat menurunnya nilai rasio, harus ada yang dibenahi dari tax amnesty ini," ucapnya.

Dia menambahkan, apabila tax amnesty jilid II ini diberlakukan, maka tidak perlu diberikan tarif khusus untuk mereka yang secara sukarela melaporkan hartanya.

"Kalau Direktorat Jenderal Pajak menelusuri tarif pajak dengan denda umum itu akan lebih besar potensi yang didapatkan," tambahnya.

Kendati demikian, Faisal melihat dalam UU tersebut terdapat poin yang mencerminkan keadilan perpajakan. Misalnya dari adanya poin yang mengubah bracket pajak orang pribadi (PPh) terendah 5% dari penghasilan kena pajak sampai dengan Rp60 juta.

Selain itu, pemerintah mengubah tarif dan penambahan lapisan pajak penghasilan orang pribadi menjadi 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

Faisal memandang, UU HPP tidak terlepas dari langkah pemerintah mencari pendanaan baru untuk mengurangi defisit APBN 2022 dan 2023 yang harus dikembalikan hingga ke level 3%.

Namun, kata dia, aturan ini memiliki dampak yang beragam terhadap lapisan mayarakat, salah satunya yaitu potensi kenaikan harga barang akibat tarif pajak penambahan nilai (PPN) menjadi 11% mulai 1 April 2022.

Saat ini, kata dia, ‎beberapa negara juga menaikkan tarif PPn. Namun, dia memberikan catatan bahwa pemerintah semestinya memastikan kenaikan PPn tidak menjadi kontraproduktif dengan pemulihan ekonomi dari dampak pandemi Covid-19.
(ynt)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1407 seconds (0.1#10.140)