Presidensi G20 Harus Jadi Momentum RI Menengahi Perang Rusia-Ukraina

Minggu, 27 Februari 2022 - 13:11 WIB
loading...
Presidensi G20 Harus...
Warga melakukan aksi solidaritas dengan membawa poster hentikan perang di Manahan, Solo, Jawa Tengah, Jumat (25/2/2022). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/nym
A A A
JAKARTA - Konflik Rusia dan Ukraina yang memicu perang turut memberikan dampak terhadap sektor keuangan Indonesia. Potensi meluasnya konflik kedua negara juga harus segera diantisipasi dengan kebijakan yang tepat.

Nilai tukar Rupiah tercatat sudah bergerak melemah di level 14.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Pelemahan ini diproyeksikan berlanjut mendekati level 15.000 jika kondisi konflik Rusia-Ukraina meluas dan melibatkan banyak negara.



Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi ini menimbulkan ketidakstabilan kawasan dan tentunya akan merugikan prospek pemulihan dan stabilitas moneter di Indonesia. Terlebih, ini bertepatan dengan tapering off dan kenaikan suku bunga di negara-negara maju.

Menyikapi momentum saat ini, kata Bhima, pemerintah harus bisa melakukan intervensi dengan mengajak negara-negara yang sedang konflik, khususnya Rusia dan AS untuk duduk bersama dalam Forum G20 membahas resolusi konflik.

"Indonesia bisa menjadi penengah karena Indonesia tidak memiliki kepentingan langsung terhadap konflik yang ada di Ukraina. Jika itu bisa dilakukan sebagai Presidensi G20 Indonesia akan dianggap sukses," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia (MPI) di Jakarta, Minggu (27/2/2022).



Kemudian, lanjut Bhima, pemerintah harus menarik potensi investasi dari negara-negara yang berkonflik ke Indonesia. Misalnya, relokasi pabrik besi dan baja, pabrik elektronik, otomotif dan suku cadangnya.

Caranya dengan melakukan pendekatan kepada para produsen yang memiliki basis produksi di Rusia maupun di Ukraina untuk segera beralih ke Indonesia. "Disiapkan insentif khususnya. Itu yang dalam jangka waktu dekat harus dilakukan oleh pemerintah," tandasnya.

Dia pun mengingatkan efek berantainya jika kondisi ketidakstabilan ini terus berlanjut. Sebagai contoh, salah satu dampak yang sudah terjadi saat ini adalah kenaikan harga komoditas minyak mentah yang sudah tembus di atas USD100 per barel.



Hal ini, kata Bhima, akan meningkatkan inflasi dan membuat biaya logistik menjadi jauh lebih mahal. Imbasnya, harga kebutuhan pokok meningkat dan daya beli masyarakat semakin rendah.

Selain itu, subsidi energi akan membengkak cukup signifikan karena pada asumsi makro APBN harga minyak hanya tercatat USD63 per barel.

Akibat selisih harga minyak yang ditetapkan dalam APBN dengan harga minyak mentah riil yang terlalu jauh, imbasnya pasti akan terjadi pembengkakan subsidi energi yang signifikan.

"Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melakukan perubahan APBN untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator khususnya nilai tukar rupiah dan inflasi karena inflasinya bisa lebih tinggi dari perkiraan,” tuturnya.

Bhima menambahkan, antisipasi yang harus dilakukan seperti tambahan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang sebagian mencakup stabilitas harga pangan dan energi ke dalam komplemen anggaran PEN. “Karena ini mengancam serius sekali pada stabilitas dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022," tandasnya.



Jadi, imbuh Bhima, ketika pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di atas 5%, harus dipastikan stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat seperti minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya, serta BBM dan LPG bisa terjaga harganya hingga akhir 2022.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1404 seconds (0.1#10.140)