Rumitnya Melangsingkan Truk Obesitas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta menyelesaikan beberapa masalah terkait jalan sebelum menerapkan zero truk ODOL (over dimension over load). Jika itu tidak dibenahi, bisa dipastikan masalah truk ODOL tidak akan pernah terpecahkan.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia ( MTI ) Agus Taufik Mulyono mengatakan, salah satu masalah yang harus diselesaikan pemerintah adalah status dan fungsi jalan yang masih karut-marut dan tidak jelas. Menurutnya, ini merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini.
Masalahnya, kata Agus, pabrik untuk komoditas ekspor itu tidak ada yang berada di kota. Semua berada di desa atau kecamatan. Jadi, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk itu pasti akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor tiga atau jalan kabupaten, kolektor dua atau jalan provinsi, dan kolektor satu atau jalan arteri.
Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk-truk itu dari pabrik menuju pelabuhan utama juga beda. Ada jalan kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu.
Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat.
“Nah, masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” kata Agus, dikutip Sabtu (9/4/2022).
Fakta-fakta seperti inilah yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu, khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar. “Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan statusnya,” tukas Agus.
Kenapa hal itu terjadi, menurut Agus, karena selama ini antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas tidak pernah sinkron. “Di pasal 19 UU Lalu Lintas tentang Kelas Jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu. Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.
Suripno dari Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) juga mempertanyakansoal siapa yang sebenarnya yang bertanggung jawab menetapkan kelas jalan itu. Karena menurutnya, sesuai undang-undang, yang menetapkan kelas jalan itu adalah Menteri PUPR. Tapi, lanjutnya, tidak ada kata-kata yang menjelaskan bahwa yang ditetapkan itu untuk membangun jalannya atau untuk pelarangan penggunaan jalannya juga.
“Akibatnya, terjadinya masalah sampai sekarang, di mana PU menetapkan kelasnya dan Menteri Perhubungan yang harus menetapkan larangan penggunaan berdasarkan kelas jalannya. Tapi, ini juga tidak dijalankan. Akhirnya, yang terjadi adalah akan sulit mencari jalan yang sudah punya kelasnya. Itu sama dengan mencari jarum dalam jerami sulitnya,” ujarnya.
Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Indonesia (IPKBI), Dwi Wahyono Syamhudi, bahkan mengakui bahwa dari aspek pengujian kendaraannya lebih membingungkan lagi. Hal itu disebabkan pengujian kendaraan itu selalu menetapkan daya angkut berdasarkan kelas jalan terendah yang boleh dilalui.
“Sekarang kalau kelas jalannya nggak ada karena tidak ada rambu juga. Terus, bagaimana mengatakan bahwa truk itu overload atau tidak, kalau kelas jalannya saja nggak ada,” tukasnya.
Menurut Dwi tidak mudah untuk menerapkan Zero ODOL. Para pemangku kepentingan harus membenahi semua permasalahan dulu secara simultan. Seluruh komponen transportasi juga harus, sehingga pada saat dilakukan penertiban ODOL, pelanggaran muatan bisa dilakukan dengan baik dan dan selaras.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia ( MTI ) Agus Taufik Mulyono mengatakan, salah satu masalah yang harus diselesaikan pemerintah adalah status dan fungsi jalan yang masih karut-marut dan tidak jelas. Menurutnya, ini merupakan problem klasik yang masih belum diselesaikan hingga saat ini.
Masalahnya, kata Agus, pabrik untuk komoditas ekspor itu tidak ada yang berada di kota. Semua berada di desa atau kecamatan. Jadi, ketika mengangkut barang dari pabrik-pabrik itu menuju pelabuhan utama, truk-truk itu pasti akan melewati jalan yang statusnya beda, mulai jalan desa, kabupaten, kota, provinsi, dan arteri (nasional).
Tidak hanya statusnya, truk-truk itu juga pasti akan melalui jalan-jalan yang fungsinya juga berbeda. Mulai lingkungan primer atau jalan lokal, kolektor tiga atau jalan kabupaten, kolektor dua atau jalan provinsi, dan kolektor satu atau jalan arteri.
Selain fungsi dan status, kelas jalan yang dilalui truk-truk itu dari pabrik menuju pelabuhan utama juga beda. Ada jalan kelas tiga, kelas dua, dan kelas satu.
Saat melalui jalan yang berbeda-beda itu, truk-truk itu tidak mungkin akan menurunkan barang-barang bawaannya saat akan pindah jalan. Apalagi, saat membongkar muatannya itu, dibutuhkan yang namanya terminal handling sebagai tempat untuk mengumpulkan barang-barang yang kelebihan muat.
“Nah, masalahnya, terminal handling ini tidak pernah ada karena memang tidak diwajibkan dalam undang-undang,” kata Agus, dikutip Sabtu (9/4/2022).
Fakta-fakta seperti inilah yang menurut Agus akhirnya membuat jalan-jalan itu, khususnya jalan yang ada di kabupaten banyak yang rusak karena harus dilalui truk-truk besar. “Jadi, karut-marut antara kelas, fungsi dan status jalan inilah sebetulnya yang menjadi penyebab hancur-hancuran jalan itu. Artinya, penerapan kelas jalan itu tidak sesuai dengan penerapan statusnya,” tukas Agus.
Kenapa hal itu terjadi, menurut Agus, karena selama ini antara UU Jalan dengan UU Lalu Lintas tidak pernah sinkron. “Di pasal 19 UU Lalu Lintas tentang Kelas Jalan, dikaitkan dengan fungsi jalan, dikaitkan status jalan, tidak pernah ketemu. Jadi, masalah ODOL ini tidak akan pernah bisa diselesaikan. Mau diselesaikan pakai apa?” ucapnya.
Suripno dari Indonesia Road Safety Partnership (IRSP) juga mempertanyakansoal siapa yang sebenarnya yang bertanggung jawab menetapkan kelas jalan itu. Karena menurutnya, sesuai undang-undang, yang menetapkan kelas jalan itu adalah Menteri PUPR. Tapi, lanjutnya, tidak ada kata-kata yang menjelaskan bahwa yang ditetapkan itu untuk membangun jalannya atau untuk pelarangan penggunaan jalannya juga.
“Akibatnya, terjadinya masalah sampai sekarang, di mana PU menetapkan kelasnya dan Menteri Perhubungan yang harus menetapkan larangan penggunaan berdasarkan kelas jalannya. Tapi, ini juga tidak dijalankan. Akhirnya, yang terjadi adalah akan sulit mencari jalan yang sudah punya kelasnya. Itu sama dengan mencari jarum dalam jerami sulitnya,” ujarnya.
Ketua Dewan Pakar Ikatan Penguji Kendaraan Indonesia (IPKBI), Dwi Wahyono Syamhudi, bahkan mengakui bahwa dari aspek pengujian kendaraannya lebih membingungkan lagi. Hal itu disebabkan pengujian kendaraan itu selalu menetapkan daya angkut berdasarkan kelas jalan terendah yang boleh dilalui.
“Sekarang kalau kelas jalannya nggak ada karena tidak ada rambu juga. Terus, bagaimana mengatakan bahwa truk itu overload atau tidak, kalau kelas jalannya saja nggak ada,” tukasnya.
Menurut Dwi tidak mudah untuk menerapkan Zero ODOL. Para pemangku kepentingan harus membenahi semua permasalahan dulu secara simultan. Seluruh komponen transportasi juga harus, sehingga pada saat dilakukan penertiban ODOL, pelanggaran muatan bisa dilakukan dengan baik dan dan selaras.
(uka)