Raksasa Produsen Aluminium Rusia Teriak Kena Imbas Perang Ukraina
loading...
A
A
A
MOSKOW - Perusahaan raksasa aluminium asal Rusia , Rusal melaporkan lonjakan biaya produksi sebesar 33% pada paruh pertama tahun 2022. Hal ini disebabkan oleh penghentian produksi pada sebuah kilang di Ukraina dan larangan Australia terhadap ekspor alumina dan bauksit ke Rusia.
Produsen aluminium terbesar dunia di luar China telah mengalami masalah ini sejak Maret, tak lama setelah Moskow mengirim pasukan ke Ukraina yang mendorong gelombang sanksi Barat terhadap ekonomi Rusia.
Perusahaan mengatakan, biaya produksi aluminium melonjak menjadi USD2.028 per ton dalam enam bulan hingga akhir Juni.
"Larangan ekspor alumina ke Rusia yang diberlakukan oleh pemerintah Australia, serta penangguhan produksi di Kilang Nikolaiev (Mykolaiv) Alumina karena peristiwa di Ukraina, berdampak negatif pada pasokan bahan baku untuk produksi aluminium dan menyebabkan peningkatan biaya," kata Rusal dalam sebuah pernyataan.
Namun tidak jelaskan siapa yang mengganti pasokan bahan baku dari Australia dan Ukraina . Namun dalam laporan terbaru menyatakan ada peningkatan laba 37,4% sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di paruh pertama menjadi USD1,8 miliar seiring harga aluminium yang lebih tinggi.
"Perusahaan terpaksa membangun kembali rantai pasokannya," kata Rusal, yang menjual produknya ke Eropa, Rusia, Asia, dan Amerika Utara.
Tercatat juga, penjualan aluminium primer turun 11,9% menjadi 1,76 juta ton, sementara produksi naik 1,2% menjadi 1,89 juta ton. Selain Rusia dan Ukraina, Rusal beroperasi di Guinea, Jamaika, Irlandia, Italia, dan Swedia.
Pemegang saham terbesarnya, En+, mengatakan pada bulan Maret bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk mengukir bisnis internasional Rusal. "Prospek Rusal untuk paruh kedua tahun ini belum terlalu cerah," kata analis di BCS dalam sebuah catatan.
Produsen aluminium terbesar dunia di luar China telah mengalami masalah ini sejak Maret, tak lama setelah Moskow mengirim pasukan ke Ukraina yang mendorong gelombang sanksi Barat terhadap ekonomi Rusia.
Perusahaan mengatakan, biaya produksi aluminium melonjak menjadi USD2.028 per ton dalam enam bulan hingga akhir Juni.
"Larangan ekspor alumina ke Rusia yang diberlakukan oleh pemerintah Australia, serta penangguhan produksi di Kilang Nikolaiev (Mykolaiv) Alumina karena peristiwa di Ukraina, berdampak negatif pada pasokan bahan baku untuk produksi aluminium dan menyebabkan peningkatan biaya," kata Rusal dalam sebuah pernyataan.
Namun tidak jelaskan siapa yang mengganti pasokan bahan baku dari Australia dan Ukraina . Namun dalam laporan terbaru menyatakan ada peningkatan laba 37,4% sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di paruh pertama menjadi USD1,8 miliar seiring harga aluminium yang lebih tinggi.
"Perusahaan terpaksa membangun kembali rantai pasokannya," kata Rusal, yang menjual produknya ke Eropa, Rusia, Asia, dan Amerika Utara.
Tercatat juga, penjualan aluminium primer turun 11,9% menjadi 1,76 juta ton, sementara produksi naik 1,2% menjadi 1,89 juta ton. Selain Rusia dan Ukraina, Rusal beroperasi di Guinea, Jamaika, Irlandia, Italia, dan Swedia.
Pemegang saham terbesarnya, En+, mengatakan pada bulan Maret bahwa mereka sedang mempertimbangkan untuk mengukir bisnis internasional Rusal. "Prospek Rusal untuk paruh kedua tahun ini belum terlalu cerah," kata analis di BCS dalam sebuah catatan.