Konflik Bisnis Keluarga Bisa Hancurkan Usaha Puluhan Tahun

Jum'at, 17 Juli 2020 - 09:46 WIB
Foto/dok
JAKARTA - Konflik terus mewarnai banyak perusahaan keluarga. Tidak hanya perusahaan besar banyak juga perusahaan kecil yang mengalami pecah kongsi antar saudara dalam menjalankan bisnisnya. Perlu tangan profesional untuk meminimalisir konflik dalam perusahaan keluarga.

Berbagai konflik disebut selalu menghantui sebuah perusahaan keluarga. Biasanya berawal mesra lalu berujung pecah kongsi. Salah satunya adalah ayam goreng merek Suharti. Pasangan suami-isteri pemilik jaringan restoran asal Yogyakarta tersebut, yakni Bambang Sachlan Praptohardjo dan Suharti akhirnya bercerai setelah 30 tahun menjalankan usaha bersama. Api persoalan pribadi pun menyambar ke urusan bisnis.

Konflik juga pernah melanda Blue Bird taksi yang berujung saling gugat ke pengadilan antara kakak beradik pada sekitar tahun 2004. Yang terbaru adalah yang melanda Grup Sinar Mas. Freddy Wijaya, salah satu anak dari pendiri Grup Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja menggugat 5 saudara tirinya. Freddy menggugat 5 saudara tirinya atas harta warisan berbagai perusahaan senilai Rp600 triliun yang ditinggalkan pendiri Grup Sinar Mas.



Konflik kerap terjadi di perusahaan keluarga menurut Peneliti strategi transformasi dan inovasi PPM School of Management Wahyu T Setyobudi karena kepentingan yang berbeda-beda. Tetapi konflik sejatinya memiliki dampak yang positif bila dosisnya tepat. (Baca: Pengacara Djoko Tjandra Temui Ketua MA, Jubir: Itu Silaturahmi Bukan Lobi)

Namun Wahyu menilai konflik yang pas akan jadi pendorong kinerja, asal sumber masalah bisa diselesaikan dan tidak berkepanjangan. "Khususnya untuk perusahaan yang dikuasai anggota keluarga konflik jadi masalah karena berubah menjadi masalah personal dengan sentimen. Konflik perusahaan yang biasa tapi malah jadi ruwet," jelas Wahyu.

Apa sih yang sesungguhnya terjadi pada konflik perusahaan keluarga. Wahyu menengarai karena hilangnya visi sang pendiri. Semua pendiri, khususnya perusahaan besar, lazimnya mempunyai kekuatan visi. Kekuatan visi yang menyatukan kekuatan keluarga dan menjadikannya solid untuk mencapai tujuan bersama mereka.

Namun seiring berjalannya waktu kemurnian visi turut luntur dengan ego masing-masing anggota keluarga. Kondisi ini dialami sebagian besar perusahaan. Dalam penelitian Lansberg, hanya kurang dari 30% perusahaan keluarga yang selamat pada generasi kedua. Bahkan hanya 10% yang bisa berlanjut ke generasi ketiga.

"Ini proses alamiah dan ini wajar. Sehingga sudah umum bila risiko ini juga harus disiapkan. Ada istilah Accidental Adversaries. Awalnya bersekutu karena kepentingan sama dan saling menguatkan. Namun karena perbedaan kepentingan lalu berkonflik. Ini siklus perusahaan keluarga," katanya.

Sementara untuk perusahaan keluarga yang melibatkan tenaga profesional kemungkinan akan lebih aman. Para profesional nonkeluarga akan bisa menjadi objek para anggota keluarga. "Kalau ada konflik pihak profesional akan jadi objek. Karena anggota keluarga kadang masih terlibat menekan. Karena tidak bisa menahan diri walaupun posisinya komisaris," tegas Wahyu. (Baca juga: Lawan WTO Soal Diskriminasi Sawit Indonesia, Dubes Pede Menang)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More