Tak Ada Habisnya Dengan Influencer
Sabtu, 01 Agustus 2020 - 11:23 WIB
Ada strategi dan taktik yang harus diperhatikan. Itu terurai dalam pernyataan Kundariya berikutnya. Ketika terlibat dengan influencer dan lazimnya produsen mengkompensasi dengan sejumlah pembayaran tertentu, justru yang sering diperoleh pernyataan yang bias dari influencer. Padahal yang diharapkan calon pembeli, ulasan yang jujur.
Maka melakukan dengan cara yang benar, meminta influencer menandai keunggulan dan kelemahan suatu produk, justru menghadirkan nuansa kejujuran di benak calon pembeli, yang juga para penggemar influencer. Dengan cara ini, keterusterangan tanpa jarak terlihat jelas. Ulasan yang mengetengahkan kelemahan produk justru dimaknai sebagai, “memang tak ada brand yang sempurna”.
Nampaknya mekanisme itulah yang senyatanya terjadi antara Indomilk UHT dengan Jungkook. Manajemen PT Indolakto, anak usaha PT Indofood CPB yang memproduksi Indomilk, menampik adanya kolaborasi. Menampilkan dan mengulas produk, sepenuhnya kemauan Jungkook. Maka tak heran jika nuansa ketulusannya benar-benar tampil dan menjalar di tengah jejaring army. Harga terdongkrak hingga ribuan kali lipat, benar-benar representasi kekaguman para penggemar. Indomilk UHT tinggal menikmati berkahnya. (Baca juga: V BTS Pilih Tingkatkan Kemampuan Intelektual ketika Senggang )
Walaupun demikian, produsen menepis jika bakal terjadi perebutan produk di pasaran. Jalaran emosi yang inginkan produk terantisipasi oleh kecukupan persediaan. Kelangkaan produk tak bakal terjadi.
Dalam penjelasan yang lain, dan sering dibahas dalam kajian Ilmu Komunikasi, influencer punya posisi mendekatkan jarak antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, berkurangnya jarak terjadi oleh fungsi katalisator influencer. Ia berposisi tepat, antara komunikator dengan influencer dan influencer dengan khalayak.
Katalisator bekerja meminimalkan perbedaan perilaku komunikasi, pengalaman maupun pengetahuan yang sangat beda antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Influencer ada di tengahnya, meniadakan jarak. Akibat posisinya yang istimewa ini, influencer kemudian sering dimanfaatkan untuk hal-hal di luar tujuan komunikasi belaka.
Keistimewaan posisi influencer sering digunakan untuk membangun trust. Ini terjadi misalnya pada transaksi tanpa tatap muka, berbasis online. Fenomena yang cukup sering terjadi, termasuk tujuan pemanfaatan influencer, untuk mempengaruhi penjualan barang yang tak jelas status legalitasnya. Kata kunci menghadirkan trust antara penjual dengan calon pembeli, benar-benar bermanfaat untuk konteks ini. (Baca juga: Dua Influencer Cantik Asal Mesir Divonis Penjara 2 Tahun )
Benar jadi masalah ketika yang ditransaksikan dengan memanfaatkan influencer, status barangnya illegal. Ada tanggung jawab etis bahkan hukum yang mengintai Sang Pesohor. Saat relasi saling percaya yang jadi dasar pembelian tercederai, setidaknya persoalan etis terlanggar.
Dalam uraian Kundariya di atas, bahkan memberikan ulasan yang berlebihan pada suatu produk sudah merupakan tindakan bias influencer. Maka bagaimana posisinya dengan influencer yang mempromosikan produk illegal? Influencer harus menolak mempromosikannya. Saat terima tawaran promosikan barang, influencer punya kewajiban moral tahu status legalitas barang. Reputasi yang bakal tergerus di hadapan penggemar, jadi taruhannya.
Di sisi lain pula, calon pembeli tetap harus waspada. Sedekat apapun hubungannya dengan influencer, sekagum apapun terhadap tersohornya influencer, adanya tawaran yang tak wajar baik jenis maupun harganya, harus rasional proporsional. Tak serta merta percaya dan membeli, alih-alih dituduh terlibat jaringan jual beli barang illegal.
Maka melakukan dengan cara yang benar, meminta influencer menandai keunggulan dan kelemahan suatu produk, justru menghadirkan nuansa kejujuran di benak calon pembeli, yang juga para penggemar influencer. Dengan cara ini, keterusterangan tanpa jarak terlihat jelas. Ulasan yang mengetengahkan kelemahan produk justru dimaknai sebagai, “memang tak ada brand yang sempurna”.
Nampaknya mekanisme itulah yang senyatanya terjadi antara Indomilk UHT dengan Jungkook. Manajemen PT Indolakto, anak usaha PT Indofood CPB yang memproduksi Indomilk, menampik adanya kolaborasi. Menampilkan dan mengulas produk, sepenuhnya kemauan Jungkook. Maka tak heran jika nuansa ketulusannya benar-benar tampil dan menjalar di tengah jejaring army. Harga terdongkrak hingga ribuan kali lipat, benar-benar representasi kekaguman para penggemar. Indomilk UHT tinggal menikmati berkahnya. (Baca juga: V BTS Pilih Tingkatkan Kemampuan Intelektual ketika Senggang )
Walaupun demikian, produsen menepis jika bakal terjadi perebutan produk di pasaran. Jalaran emosi yang inginkan produk terantisipasi oleh kecukupan persediaan. Kelangkaan produk tak bakal terjadi.
Dalam penjelasan yang lain, dan sering dibahas dalam kajian Ilmu Komunikasi, influencer punya posisi mendekatkan jarak antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Dengan tujuan untuk mencapai saling pengertian, berkurangnya jarak terjadi oleh fungsi katalisator influencer. Ia berposisi tepat, antara komunikator dengan influencer dan influencer dengan khalayak.
Katalisator bekerja meminimalkan perbedaan perilaku komunikasi, pengalaman maupun pengetahuan yang sangat beda antara pelaku komunikasi dengan khalayaknya. Influencer ada di tengahnya, meniadakan jarak. Akibat posisinya yang istimewa ini, influencer kemudian sering dimanfaatkan untuk hal-hal di luar tujuan komunikasi belaka.
Keistimewaan posisi influencer sering digunakan untuk membangun trust. Ini terjadi misalnya pada transaksi tanpa tatap muka, berbasis online. Fenomena yang cukup sering terjadi, termasuk tujuan pemanfaatan influencer, untuk mempengaruhi penjualan barang yang tak jelas status legalitasnya. Kata kunci menghadirkan trust antara penjual dengan calon pembeli, benar-benar bermanfaat untuk konteks ini. (Baca juga: Dua Influencer Cantik Asal Mesir Divonis Penjara 2 Tahun )
Benar jadi masalah ketika yang ditransaksikan dengan memanfaatkan influencer, status barangnya illegal. Ada tanggung jawab etis bahkan hukum yang mengintai Sang Pesohor. Saat relasi saling percaya yang jadi dasar pembelian tercederai, setidaknya persoalan etis terlanggar.
Dalam uraian Kundariya di atas, bahkan memberikan ulasan yang berlebihan pada suatu produk sudah merupakan tindakan bias influencer. Maka bagaimana posisinya dengan influencer yang mempromosikan produk illegal? Influencer harus menolak mempromosikannya. Saat terima tawaran promosikan barang, influencer punya kewajiban moral tahu status legalitas barang. Reputasi yang bakal tergerus di hadapan penggemar, jadi taruhannya.
Di sisi lain pula, calon pembeli tetap harus waspada. Sedekat apapun hubungannya dengan influencer, sekagum apapun terhadap tersohornya influencer, adanya tawaran yang tak wajar baik jenis maupun harganya, harus rasional proporsional. Tak serta merta percaya dan membeli, alih-alih dituduh terlibat jaringan jual beli barang illegal.
Lihat Juga :
tulis komentar anda