Lambannya Birokrasi Daerah Munculkan Isu Harga Pupuk Naik dan Langka
Sabtu, 16 Januari 2021 - 16:23 WIB
Di Jawa Barat saja yang merupakan lumbung padi nasional belum semua daerah menerbirkan SK dimaksud. Dari 27 kabupaten/kota, baru 11 kabupaten/kota yang sudah menerbitkan SK. Sisanya, sebanyak 16 daerah masih belum menerbitkannya.
Sementara di Jawa Timur, dari 38 kabupaten/kota, baru 19 daerah yang menerbitkan SK. Artinya masih ada 19 daerah yang masih belum menerbitkan SK untuk penyaluran pupuk subsidi. Di Sumatera Barat, dari 19 kabupaten/kota masih terdapat 11 daerah yang belum menerbitkan SK.
Di Sumatera Utara dari 33 Kab/kota, masih terdapat 20 daerah yang belum menerbitkan SK. Di Sulawesi Selatan, dari 24 kab/kota, baru 10 yang terbitkan SK. sebanyak 14 daerah lainnya masih belum menerbitkan.
Banyaknya daerah yang belum menerbitkan SK itu tentu saja merugikan para petani, sebab mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga non-subsidi. Kondisi inilah yang akhirnya menyeruakkan isu mahalnya harga pupuk. Padahal kondisi yang terjadi, petani e-RDKK yang biasa membeli pupuk subsidi terpaksa membeli pupuk non-subsidi yang harganya lebih mahal.
Di sisi lain, PT Pupuk Indonesia sendiri sudah siap untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi ke daerah-daerah. Masalahnya, distribusi itu terganjal oleh SK daerah tadi sebab PT Pupuk tak bisa melakukan distribusi tanpa adanya data kebutuhan daerah. "Karena perusahaan pupuk kan tidak mau mendistribusikan kalau tidak ada dasar aturannya. Apalagi, pupuk subsidi ini diawasi mulai dari BPK, PPATK, hingga KPK," tambah Winarno.
Untuk itu, Winarno mengimbau kepada pemerintah kota/kabupaten untuk segera menerbitkan aturan turunan tentang pupuk subsidi ini. Dia menegaskan, KTNA di masing-masing daerah selama ini sudah terlibat dalam manajemen pupuk subsidi bersama dengan pemerintah daerah. Pihaknya juga terus mengusulkan untuk penerbitan regulasi ini lebih cepat. "Sekarang kita hanya minta jaminan ketersediaan dan pasokan pupuk subsidi saja," pungkas dia.
Menurut Winarno, seharusnya dengan Permentan No. 49 Tahun 2020, distribusi pupuk bersubsidi bisa lebih cepat lagi. Pasalnya, distribusi pupuk melalui SK dinas pertanian sudah lebih baik dibanding beberapa tahun sebelumnya yang harus melalui peraturan gubernur (pergub).
Kala itu, distribusi pupuk lebih lambat karena menunggu pergub di masing-masing daerah. "Sekarang ini harusnya lebih cepat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Karena saat itu harus ada pergub," tegasnya. ( Baca juga:PPKM di Bogor, Pengunjung Kawasan Puncak Kembali Diminta Tunjukkan Surat Rapid Antigen )
Hal senada juga diungkapkan Ketua KTNA Jawa Barat H. Otong Wiranta terkait permentan itu. Otong menyayangkan pemangkasan regulasi yang dilakukan Kementan tidak diimbangi dengan kecepatan pemda dalam membuat aturan turunannya. "Itulah kenyataan yang harus dihadapi petani," katanya.
Otong menyampaikan bahwa pihaknya sudah bersuara untuk mempercepat penyaluran pupuk bersubsidi, tapi sepertiya birokrasi tidak memperhatikan. Dia berharap keberpihakan kepada petani tidak setengah-setengah, sehingga petani bisa bertani dengan tenang karena alokasi pupuknya sudah disediakan dengan pasti.
Sementara di Jawa Timur, dari 38 kabupaten/kota, baru 19 daerah yang menerbitkan SK. Artinya masih ada 19 daerah yang masih belum menerbitkan SK untuk penyaluran pupuk subsidi. Di Sumatera Barat, dari 19 kabupaten/kota masih terdapat 11 daerah yang belum menerbitkan SK.
Di Sumatera Utara dari 33 Kab/kota, masih terdapat 20 daerah yang belum menerbitkan SK. Di Sulawesi Selatan, dari 24 kab/kota, baru 10 yang terbitkan SK. sebanyak 14 daerah lainnya masih belum menerbitkan.
Banyaknya daerah yang belum menerbitkan SK itu tentu saja merugikan para petani, sebab mereka terpaksa membeli pupuk dengan harga non-subsidi. Kondisi inilah yang akhirnya menyeruakkan isu mahalnya harga pupuk. Padahal kondisi yang terjadi, petani e-RDKK yang biasa membeli pupuk subsidi terpaksa membeli pupuk non-subsidi yang harganya lebih mahal.
Di sisi lain, PT Pupuk Indonesia sendiri sudah siap untuk mendistribusikan pupuk bersubsidi ke daerah-daerah. Masalahnya, distribusi itu terganjal oleh SK daerah tadi sebab PT Pupuk tak bisa melakukan distribusi tanpa adanya data kebutuhan daerah. "Karena perusahaan pupuk kan tidak mau mendistribusikan kalau tidak ada dasar aturannya. Apalagi, pupuk subsidi ini diawasi mulai dari BPK, PPATK, hingga KPK," tambah Winarno.
Untuk itu, Winarno mengimbau kepada pemerintah kota/kabupaten untuk segera menerbitkan aturan turunan tentang pupuk subsidi ini. Dia menegaskan, KTNA di masing-masing daerah selama ini sudah terlibat dalam manajemen pupuk subsidi bersama dengan pemerintah daerah. Pihaknya juga terus mengusulkan untuk penerbitan regulasi ini lebih cepat. "Sekarang kita hanya minta jaminan ketersediaan dan pasokan pupuk subsidi saja," pungkas dia.
Menurut Winarno, seharusnya dengan Permentan No. 49 Tahun 2020, distribusi pupuk bersubsidi bisa lebih cepat lagi. Pasalnya, distribusi pupuk melalui SK dinas pertanian sudah lebih baik dibanding beberapa tahun sebelumnya yang harus melalui peraturan gubernur (pergub).
Kala itu, distribusi pupuk lebih lambat karena menunggu pergub di masing-masing daerah. "Sekarang ini harusnya lebih cepat dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Karena saat itu harus ada pergub," tegasnya. ( Baca juga:PPKM di Bogor, Pengunjung Kawasan Puncak Kembali Diminta Tunjukkan Surat Rapid Antigen )
Hal senada juga diungkapkan Ketua KTNA Jawa Barat H. Otong Wiranta terkait permentan itu. Otong menyayangkan pemangkasan regulasi yang dilakukan Kementan tidak diimbangi dengan kecepatan pemda dalam membuat aturan turunannya. "Itulah kenyataan yang harus dihadapi petani," katanya.
Otong menyampaikan bahwa pihaknya sudah bersuara untuk mempercepat penyaluran pupuk bersubsidi, tapi sepertiya birokrasi tidak memperhatikan. Dia berharap keberpihakan kepada petani tidak setengah-setengah, sehingga petani bisa bertani dengan tenang karena alokasi pupuknya sudah disediakan dengan pasti.
tulis komentar anda