Sebelum Berderma, Ini Tips agar Penerima Barang Tidak Kecewa
Senin, 18 Mei 2020 - 15:43 WIB
Keempat, untuk belanja produk elektronik ini, sebaiknya pembayaran dilakukan secara COD (cash on delivery). Bayar barang saat diantarkan ke alamat konsumen, sehingga bisa dicek dulu wujudnya dan kualitasnya.
Terakhir, untuk pemilik platform, konsumen harus diberi kebebasan memilih cara pembayaran. Karena sekarang ada platform yang tidak menerima lagi pembayaran melalui transfer, misalnya. Tapi harus membuka payment gateway rekanan mereka. Misalnya Dana, Ovo.
Cara ini, kata David, merugikan konsumen. “Karena kalau ada pembatalan, uang tidak dikembalikan ke rekening konsumen, tapi dikembalikan ke rekening milik marketplace. Kok konsumen diikat supaya membeli di marketplace itu,” tutur advokat spesialis perlindungan konsumen.
Sesungguhnya, seiring dengan Hari Konsumen Nasional yang jatuh pada tanggal 20 April silam, KKI telah melaporkan ketidakberesan ini ke Direktorat Jendral Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga pada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
KKI telah melakukan investigasi terhadap laporan masyarakat sejak tanggal 5 September 2019 sampai dengan tanggal 1 April 2020 melalui 4 situs online ternama di Indonesia, yakni Tokopedia, Bukalapak, Facebook dan Shopee.
David memaparkan, hasil investigasinya mengungkap penjualan barang/produk di situs-situs online yang diduga palsu atau telah kadaluarsa yang dikemas ulang secara ilegal. Ini melanggar ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf a, c, g, i dan ayat 2, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tidak hanya melanggar ketentuan dalam Perlindungan Konsumen, melakukan pengemasan ulang produk yang tidak mendapatkan izin juga melanggar peraturan-peraturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, serta melanggar peraturan Badan Pengawasan Obat dan (BPOM) nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Investigasi dilakukan dengan cara membeli lebih dari 100 barang/produk yang dikemas ulang dari situs online. Mayoritas adalah makanan ringan yang dikonsumsi oleh anak-anak dan menemukan barang/produk tersebut di “palsukan” dengan cara pengemasan ulang (repack). “Hal ini berdampak buruk bagi kesehatan konsumen,” sahutnya.
Modus yang digunakan antara lain adalah mengeluarkan produk dari kemasan asli dan memasukan kembali barang/produk tersebut menggunakan plastik bening dan ditandai dengan potongan kemasan bekas produk tersebut.
Modus lainnya mengganti tanggal kadaluarsa pada kemasan aslinya. “Beberapa barang yang dijual bahkan tidak mencantumkan kembali merek sebenarnya dari produk tersebut, namun hanya dicantumkan pada situs online-nya,” ujarnya.
Terakhir, untuk pemilik platform, konsumen harus diberi kebebasan memilih cara pembayaran. Karena sekarang ada platform yang tidak menerima lagi pembayaran melalui transfer, misalnya. Tapi harus membuka payment gateway rekanan mereka. Misalnya Dana, Ovo.
Cara ini, kata David, merugikan konsumen. “Karena kalau ada pembatalan, uang tidak dikembalikan ke rekening konsumen, tapi dikembalikan ke rekening milik marketplace. Kok konsumen diikat supaya membeli di marketplace itu,” tutur advokat spesialis perlindungan konsumen.
Sesungguhnya, seiring dengan Hari Konsumen Nasional yang jatuh pada tanggal 20 April silam, KKI telah melaporkan ketidakberesan ini ke Direktorat Jendral Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga pada Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.
KKI telah melakukan investigasi terhadap laporan masyarakat sejak tanggal 5 September 2019 sampai dengan tanggal 1 April 2020 melalui 4 situs online ternama di Indonesia, yakni Tokopedia, Bukalapak, Facebook dan Shopee.
David memaparkan, hasil investigasinya mengungkap penjualan barang/produk di situs-situs online yang diduga palsu atau telah kadaluarsa yang dikemas ulang secara ilegal. Ini melanggar ketentuan Pasal 8 ayat 1 huruf a, c, g, i dan ayat 2, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Tidak hanya melanggar ketentuan dalam Perlindungan Konsumen, melakukan pengemasan ulang produk yang tidak mendapatkan izin juga melanggar peraturan-peraturan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan, serta melanggar peraturan Badan Pengawasan Obat dan (BPOM) nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Investigasi dilakukan dengan cara membeli lebih dari 100 barang/produk yang dikemas ulang dari situs online. Mayoritas adalah makanan ringan yang dikonsumsi oleh anak-anak dan menemukan barang/produk tersebut di “palsukan” dengan cara pengemasan ulang (repack). “Hal ini berdampak buruk bagi kesehatan konsumen,” sahutnya.
Modus yang digunakan antara lain adalah mengeluarkan produk dari kemasan asli dan memasukan kembali barang/produk tersebut menggunakan plastik bening dan ditandai dengan potongan kemasan bekas produk tersebut.
Modus lainnya mengganti tanggal kadaluarsa pada kemasan aslinya. “Beberapa barang yang dijual bahkan tidak mencantumkan kembali merek sebenarnya dari produk tersebut, namun hanya dicantumkan pada situs online-nya,” ujarnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda