Mengejar Penerimaan Negara Harus Dilakukan dengan Berkeadilan
Selasa, 12 Oktober 2021 - 10:06 WIB
Gunakan Jurus Lama Lewat Tax Amnesty II
Salah satu yang menjadi sorotan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pekan lalu oleh DPR adalah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II . Program yang digadang-gadang menjadi andalan untuk menarik penerimaan pajak tahun depan itu pun mendapat kritikan dari sejumlah kalangan karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan sebelumnya.
Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memandang, program tax amnesty jilid II yang tertuang dalam RUU HPP menujukkan bahwa beleid terbaru itu tidak sepenuhnya menggambarkan adanya reformasi perpajakan seperti yang diklaim pemerintah.
Dia menyebut, adanya program pengampunan pajak Jilid II yang dianggap bertolak belakang dengan semangat reformasi perpajakan. Menurutnya, program tersebut akan membuat pemerintah seakan tidak konisten dengan pernyataannya pada 2016, di mana dinyatakan pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali saja.
"Sebaiknya pemerintah konsisten dalam hal ini pengampunan pajak dan tidak perlu khawatir kalau kehilangan momentum kalau tidak mengecek wajib pajak yang lalai," lanjutnya.
Di sisi lain, adanya kebijakan pengampunan pajak jilid II yang akan dimulai pada 1 Januari 2022 itu dinilai akan berdampak negatif pada ekonomi nasional. Bahkan, kepercayaan pembayaran pajak bisa turun karena adanya tax amnesty.
Pasalnya, program tersebut justru menggangu psikologi pembayar pajak yang lebih memilih untuk menunggu tax amnesty jilid berikutnya.
"Mereka berpikir buat apa patuh pajak, pasti ada tax amensty berikutnya. Tentunya ini blunder ke penerimaan negara," tegasnya.
Hadirnya tax amnesty, kata dia, juga diperkirakan tidak mampu meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Faisal mengatakan hal ini bisa terlihat dari rasio pajak yang selalu menurun dari priode 2018 sampai 2020 sebesar 8,3%.
"Dengan melihat menurunnya nilai rasio, harus ada yang dibenahi dari tax amnesty ini," ucapnya.
Salah satu yang menjadi sorotan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pekan lalu oleh DPR adalah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II . Program yang digadang-gadang menjadi andalan untuk menarik penerimaan pajak tahun depan itu pun mendapat kritikan dari sejumlah kalangan karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan sebelumnya.
Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memandang, program tax amnesty jilid II yang tertuang dalam RUU HPP menujukkan bahwa beleid terbaru itu tidak sepenuhnya menggambarkan adanya reformasi perpajakan seperti yang diklaim pemerintah.
Dia menyebut, adanya program pengampunan pajak Jilid II yang dianggap bertolak belakang dengan semangat reformasi perpajakan. Menurutnya, program tersebut akan membuat pemerintah seakan tidak konisten dengan pernyataannya pada 2016, di mana dinyatakan pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali saja.
"Sebaiknya pemerintah konsisten dalam hal ini pengampunan pajak dan tidak perlu khawatir kalau kehilangan momentum kalau tidak mengecek wajib pajak yang lalai," lanjutnya.
Di sisi lain, adanya kebijakan pengampunan pajak jilid II yang akan dimulai pada 1 Januari 2022 itu dinilai akan berdampak negatif pada ekonomi nasional. Bahkan, kepercayaan pembayaran pajak bisa turun karena adanya tax amnesty.
Pasalnya, program tersebut justru menggangu psikologi pembayar pajak yang lebih memilih untuk menunggu tax amnesty jilid berikutnya.
"Mereka berpikir buat apa patuh pajak, pasti ada tax amensty berikutnya. Tentunya ini blunder ke penerimaan negara," tegasnya.
Hadirnya tax amnesty, kata dia, juga diperkirakan tidak mampu meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Faisal mengatakan hal ini bisa terlihat dari rasio pajak yang selalu menurun dari priode 2018 sampai 2020 sebesar 8,3%.
"Dengan melihat menurunnya nilai rasio, harus ada yang dibenahi dari tax amnesty ini," ucapnya.
tulis komentar anda