Kelangkaan Solar Subsidi, Pengamat: Tanda-tanda Ekonomi Tumbuh
Minggu, 17 Oktober 2021 - 11:30 WIB
JAKARTA - Kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) solar bersubsidi di beberapa wilayah di Sumatera beberapa waktu belakangan ini menimbulkan kegelisahan di sejumlah kalangan. Namun, kejadian ini juga disikapi positif karena dinilai mengindikasikan menggeliatnya kembali ekonomi di daerah.
Direktur Executive Energy Watch menilai, kelangkaan solar ini lebih disebabkan karena mulai tumbuhnya perekonomian seiring terkendalinya kondisi pandemi Covid-19 secara nasional.
"Hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan solar subsidi yang cukup signifikan. Di sisi lain, solar subsidi itu dibatasi oleh kouta yang ditetapkan oleh BPH Migas," ujar Mamit di Jakarta, Minggu (17/10/2021).
Dia menjelaskan, Pertamina, dalam hal ini sub holding Pertamina Patra Niaga (PPN) menjaga agar sisa kouta solar bersubsidi yang ditetapkan oleh Pemerintah dan BPH Migas cukup sampai akhir tahun 2021 ini.
"Pertamina pastinya akan menyesuaikan sisa kouta setiap provinsi agar tidak melebihi batas yang ditentukan. Pertamina tidak bisa serta merta menambah kuota tanpa ada persetujuan ataupun perintah dari Pemerintah dan juga BPH Migas," jelasnya.
Penambahan jumlah solar subsidi yang beredar tak bisa serta merta dilakukan karena terkait dengan penggantian dana subsidi. Karena itu, tegas Mamit, dalam persoalan kelangkaan BBM ini kritik seharusnya juga diarahkan kepada pemerintah yang kurang cepat mengambil tindakan dan keputusan terkait subsidi solar ini.
"Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan BPH Migas harus segera bertindak cepat dengan segera menyetujui atau meminta Pertamina menambah kouta solar subsidi dan kelebihan kouta tersebut akan dibayarkan dalam APBN 2022. Sehingga tidak timbul kepanikan di masyarakat karena kelangkaan ini," tandasnya.
Di luar itu, Mamit mengatakan bahwa kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) sepanjang 2021 juga bisa menjadi penyebab terganggunya ketersediaan stok BBM solar bersubsidi. Pasalnya, BBM solar bersubsidi merupakan bagian program solar B30, yang menggunakan bahah baku minyak sawit.
Direktur Executive Energy Watch menilai, kelangkaan solar ini lebih disebabkan karena mulai tumbuhnya perekonomian seiring terkendalinya kondisi pandemi Covid-19 secara nasional.
"Hal ini menyebabkan terjadinya lonjakan permintaan solar subsidi yang cukup signifikan. Di sisi lain, solar subsidi itu dibatasi oleh kouta yang ditetapkan oleh BPH Migas," ujar Mamit di Jakarta, Minggu (17/10/2021).
Dia menjelaskan, Pertamina, dalam hal ini sub holding Pertamina Patra Niaga (PPN) menjaga agar sisa kouta solar bersubsidi yang ditetapkan oleh Pemerintah dan BPH Migas cukup sampai akhir tahun 2021 ini.
"Pertamina pastinya akan menyesuaikan sisa kouta setiap provinsi agar tidak melebihi batas yang ditentukan. Pertamina tidak bisa serta merta menambah kuota tanpa ada persetujuan ataupun perintah dari Pemerintah dan juga BPH Migas," jelasnya.
Penambahan jumlah solar subsidi yang beredar tak bisa serta merta dilakukan karena terkait dengan penggantian dana subsidi. Karena itu, tegas Mamit, dalam persoalan kelangkaan BBM ini kritik seharusnya juga diarahkan kepada pemerintah yang kurang cepat mengambil tindakan dan keputusan terkait subsidi solar ini.
"Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan BPH Migas harus segera bertindak cepat dengan segera menyetujui atau meminta Pertamina menambah kouta solar subsidi dan kelebihan kouta tersebut akan dibayarkan dalam APBN 2022. Sehingga tidak timbul kepanikan di masyarakat karena kelangkaan ini," tandasnya.
Di luar itu, Mamit mengatakan bahwa kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) sepanjang 2021 juga bisa menjadi penyebab terganggunya ketersediaan stok BBM solar bersubsidi. Pasalnya, BBM solar bersubsidi merupakan bagian program solar B30, yang menggunakan bahah baku minyak sawit.
Lihat Juga :
tulis komentar anda