Ingin Aman? Bijaklah Memilih Investasi Kekinian

Selasa, 15 Februari 2022 - 05:38 WIB
"BPKN sangat peduli terhadap konsumen agar bagaimana konsumen itu mendapat perlindungan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 Tahun 1999," ujar Heru.

Dia menjelaskan, Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa konsumen memiliki dan mendapatkan hak berupa kenyamanan, keamanan, hingga keselamatan dalam menggunakan barang atau jasa.

Selain itu, konsumen pun berhak mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi barang dan/atau jasa. Menurut Heru, UU ini pun mengikat juga bagi produsen atau penyedia barang dan/atau jasa produk investasi digital atau yang memanfaatkan teknologi informasi. "Ada beberapa catatan kita. Pertama itu mengenai penggunaan dan penjualan aset kripto kemudian robot trading, dan segala macam. Sehingga, kami lihat harus ada pengaturan yang lebih tegas, karena memang dalam kenyataannya masyarakat itu yang dirugikan," ungkapnya.

Kenapa masyarakat yang dirugikan? Heru menjelaskan, alasannya adalah banyak memberi layanan yang melakukan kegiatannya secara ilegal dan mereka belum memiliki landasan dalam memberikan layanan.

Untuk itu, BPKN mendorong agar layanan seperti yang tadi disebutkan dan para pemberi layanan yang tidak berizin (ilegal) harus dibenahi dan diawasi secara ketat dan tegas. Bahkan harus ditindak jika ada dugaan unsur pidana. Dalam konteks ini, maka perlu koordinasi tiga lembaga yakni Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

"Untuk sistem pembayarannya kan di OJK kemudian Bappebti terkait dengan investasinya. Jadi ini harus dibenahi dan benar-benar diawasi," tegas Heru.

Heru berpandangan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi memang memberikan manfaat signifikan terhadap perkembangan dan pertumbuhan transaksi ekonomi digital, termasuk di antaranya adalah investasi produk digital.

Di sisi lain, perkembangan teknologi ini pun bisa menimbulkan kesulitan dan merugikan masyarakat. Artinya, kata Heru, masyarakat harus dilindungi oleh para pengambil dan pembuat keputusan serta saat melakukan pengawasan. "Tentu harus jelas dulu, barang ini apa nih. Misalnya, robot trading ini apa. Kan enggak serta-merta memberikan layanan, karena ternyata robot trading ini kayak gambling juga, kadang-kadang kita masukin duit tapi pertanggungjawabannya seperti apa kita nggak tahu," bebernya.

Dia memaparkan, BPKN menemukan bahwa ihwal investasi digital dengan robot trading sering kali para penyedia layanan menyampaikan informasi bahwa konsumen/masyarakat yang akan berinvestasi bisa mendapatkan manfaat, memperoleh kekayaan, maupun janji bombastis lainnya.

Contoh janji itu adalah jika dulu masyarakat makan di warteg, maka setelah berinvestasi dengan robot trading bisa makan di hotel bintang lima. Atau, jika dulu masyarakat hanya bisa naik ojek, maka setelah berinvestasi dengan robot trading bisa punya dan menaiki mobil mewah. "Harusnya, disampaikan bahwa ini investasi. Dan, setiap investasi itu bisa menguntungkan dan juga bisa merugikan konsumennya. Potensi kerugian itu harus disampaikan.," tandas Heru.

Managing Partner/Owner di PT Aspirasi Indonesia Research Institute Yanuar Rizky menuturkan, secara psycho public ada yang keliru dalam narasi ‘sambil rebahan bisa kaya’ sehingga opini orang begitu percaya pada pola investasi tertentu yang ternyata ilegal.

Pola ini, kata dia, bukan hanya di binary option, tetapi juga banyak terjadi di instrumen portofolio, dengan bermunculannya era influencer di saham, crazy rich, sultan dan lainnya. “Saya menyoroti literasi konsumen tentang pengetahuan dasar investasi, yang harusnya menjadi agenda literasi publik,” kata Yanuar.

Anggota Komisi XI DPR Puteri Anetta Komaruddin mengatakan, pihaknya mendesak OJK bersama pemerintah, untuk memberantas keberadaan binary option yang merugikan dan telah dinyatakan ilegal oleh Bappebti.

Politis Partai Golkar itu menerangkan, beberapa penyebab kenapa penawaran investasi tetap marak. Pertama, literasi keuangan masyarakat masih rendah. Data OJK menyebutkan indeks literasi masyarakat Indonesia masih 38,03% pada tahun 2019.

“Akibatnya, pemahaman nasabah akan manfaat dan risiko dari produk investasi juga belum optimal. Sehingga, masyarakat rentan tergiur akan keuntungan yang tidak logis dan memiliki legalitas yang jelas. Karenanya, upaya peningkatan literasi keuangan ini mendesak dilakukan untuk mencegah bertambahnya korban,” ucapnya kepada Koran SINDO, Senin (14/2).

Puteri juga menyebut faktor lain, yakni belum optimalnya upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan oleh regulator. Apalagi, menurutnya, beberapa situs maupun aplikasi ilegal yang sudah ditutup, bisa dengan mudah beroperasi kembali.

“Karenanya, upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan OJK bersama instansi terkait dalam lingkung Satgas Waspada Investasi (SWI), perlu terus digencarkan untuk memberantas entitas investasi bodong,” tandasnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More