Pemerintah Disarankan Tunda Kenaikan Harga BBM dengan Pengendalian Lebih Dulu
Senin, 22 Agustus 2022 - 10:50 WIB
JAKARTA - Kenaikan harga bahan bakar bersubsidi, baik itu bahan bakar minyak ( BBM ) maupun elpiji dipastikan berdampak pada banyak sendi ekonomi. Di masa pemulihan dampak pandemi Covid-19 saat ini, pemerintah disarankan menunda kenaikan dan melakukan pengendalian konsumsi terlebih dulu.
"Mengurangi beban subsidi tidak harus dengan menaikkan harga jual, tetapi bagaimana pemerintah punya kemauan politik yang kuat buat mengendalikan penggunaan BBM dan elpiji secara benar dan tepat. Tentukan dalam peraturan yang tegas dengan sanksi yang jelas, siapa yang berhak atas BBM dan elpiji bersubsidi," ungkap pengamat energi Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin (22/8/2022).
Menaikkan harga jual BBM dan elpiji bersubsidi, kata dia, sebaiknya dilakukan pada periode pemerintahan yang akan datang saja, menunggu dampak Covid-19 mereda. Saat ini, kata dia, sebaiknya dilakukan pengendalian kosumsi dengan membentuk satuan tugas pengawasan nasional, yang secara khusus melakukan pengawasan secara ketat.
Sofyano mengatakan, pemerintah perlu punya keberanian dalam menentukan siapa yang berhak atas solar subsidi, Pertalite dan elpiji bersubsidi. Selama ini menurutnya nyaris tak ada pebgawasan sehingga kuota bahan bakar bersubsidi selalu jebol.
"Sudah saatnya pemerintah tegas menentukan pengguna Pertalite dan solar subsidi hanyalah kendaraan angkutan barang dan penumpang, maksimal roda 6, dengan pelat kuning saja. Bagi kendaraan pelat hitam yang ingin mendapat solar subsidi, beri kemudahan untuk menjadi pelat kuning," ujarnya. Selain itu, imbuh dia, ditentukan pula dengan tepat jumlah BBM subsidi yang bisa dibeli pada setiap harinya.
Sedangkan untuk elpiji bersubsidi kemasan 3 kg, pemerintah pusat disarankan mengikuti kebijakan yang dilakukan beberapa pemerintah daerah (pemda) yang telah menaikkan HET di sejumlah daerah. Dia beralasan, kenaikan HET di sejumlah daerah pun ternyata tidak menimbulkan gejolak penolakan dari masyarakat daerah. "Langkah-langkah pembatasan ini pasti mengurangi beban subsidi secara signifikan," tuturnya.
Sofyano juga mengimbau agar narasi yang disampaikan pemerintah terkait harga jual BBM dan elpiji bersubsidi tidak semata dikaitkan dengan tingginya harga minyak dunia atau beratnya beban APBN saja. Dia menegaskan, sudah saatnya masyarakat juga diingatkan mengenai kepatutan harga jual yang ada.
"Contoh, harga solar subsidi hanya Rp.5.150 per liter, hampir sama dengan harga air mineral, ini sangat bisa dinilai tidak patut. Sementara publik sangat paham bahwa pengguna solar subsidi dominan adalah pengusaha yang pasti memperoleh keuntungan materi dari penggunaan solar subsidi," tandasnya.
Demikian Juga dengan HET elpiji 3 kg nasional yang hanya sebesar Rp.4.250 per kg yang tak pernah dikoreksi sejak dulu. Sementara, harga jualnya di masyarakat sudah jauh melampaui acuan HET nasional. "Hal ini dikhawatirkan kemudian dipahami publik hanya memberi keuntungan bagi penyalur elpiji saja," ujarnya.
Terkait dampak pada inflasi, Sofyano meyakini pemerintah dapat mencari cara-cara lain untuk mengendalikan kenaikan harga. Dengan demikian, kenaikan harga bahan bakar bersubsidi tak selalu menjadi momok yang mencegah dilakukannya perbaikan atas sistem subsidi.
"Mengurangi beban subsidi tidak harus dengan menaikkan harga jual, tetapi bagaimana pemerintah punya kemauan politik yang kuat buat mengendalikan penggunaan BBM dan elpiji secara benar dan tepat. Tentukan dalam peraturan yang tegas dengan sanksi yang jelas, siapa yang berhak atas BBM dan elpiji bersubsidi," ungkap pengamat energi Sofyano Zakaria di Jakarta, Senin (22/8/2022).
Menaikkan harga jual BBM dan elpiji bersubsidi, kata dia, sebaiknya dilakukan pada periode pemerintahan yang akan datang saja, menunggu dampak Covid-19 mereda. Saat ini, kata dia, sebaiknya dilakukan pengendalian kosumsi dengan membentuk satuan tugas pengawasan nasional, yang secara khusus melakukan pengawasan secara ketat.
Sofyano mengatakan, pemerintah perlu punya keberanian dalam menentukan siapa yang berhak atas solar subsidi, Pertalite dan elpiji bersubsidi. Selama ini menurutnya nyaris tak ada pebgawasan sehingga kuota bahan bakar bersubsidi selalu jebol.
"Sudah saatnya pemerintah tegas menentukan pengguna Pertalite dan solar subsidi hanyalah kendaraan angkutan barang dan penumpang, maksimal roda 6, dengan pelat kuning saja. Bagi kendaraan pelat hitam yang ingin mendapat solar subsidi, beri kemudahan untuk menjadi pelat kuning," ujarnya. Selain itu, imbuh dia, ditentukan pula dengan tepat jumlah BBM subsidi yang bisa dibeli pada setiap harinya.
Sedangkan untuk elpiji bersubsidi kemasan 3 kg, pemerintah pusat disarankan mengikuti kebijakan yang dilakukan beberapa pemerintah daerah (pemda) yang telah menaikkan HET di sejumlah daerah. Dia beralasan, kenaikan HET di sejumlah daerah pun ternyata tidak menimbulkan gejolak penolakan dari masyarakat daerah. "Langkah-langkah pembatasan ini pasti mengurangi beban subsidi secara signifikan," tuturnya.
Sofyano juga mengimbau agar narasi yang disampaikan pemerintah terkait harga jual BBM dan elpiji bersubsidi tidak semata dikaitkan dengan tingginya harga minyak dunia atau beratnya beban APBN saja. Dia menegaskan, sudah saatnya masyarakat juga diingatkan mengenai kepatutan harga jual yang ada.
"Contoh, harga solar subsidi hanya Rp.5.150 per liter, hampir sama dengan harga air mineral, ini sangat bisa dinilai tidak patut. Sementara publik sangat paham bahwa pengguna solar subsidi dominan adalah pengusaha yang pasti memperoleh keuntungan materi dari penggunaan solar subsidi," tandasnya.
Demikian Juga dengan HET elpiji 3 kg nasional yang hanya sebesar Rp.4.250 per kg yang tak pernah dikoreksi sejak dulu. Sementara, harga jualnya di masyarakat sudah jauh melampaui acuan HET nasional. "Hal ini dikhawatirkan kemudian dipahami publik hanya memberi keuntungan bagi penyalur elpiji saja," ujarnya.
Terkait dampak pada inflasi, Sofyano meyakini pemerintah dapat mencari cara-cara lain untuk mengendalikan kenaikan harga. Dengan demikian, kenaikan harga bahan bakar bersubsidi tak selalu menjadi momok yang mencegah dilakukannya perbaikan atas sistem subsidi.
(fai)
tulis komentar anda