Luhut Usul Pajak Motor Bensin Naik, Pengamat: Perlu Ada Kajian Matang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Pajak Fajry Akbar turut menanggapi rencana Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan menaikkan pajak kendaraan berbahan bakar minyak (BBM) atau bensin.
Fajry menilai rencana itu sejatinya bagus mengingat banyak eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kendaran pribadi, dari polusi sampai kemacetan sehingga pajak dapat menjadi instrumen.
"Tapi, perlu ada studinya terlebih dahulu. Apakah benar bisa mengalihkan penggunaan pribadi ke kendaraan umum? Mengingat tidak semua penduduk, punya akses transportasi umum yang baik dari tempat tinggalnya. Contoh, beberapa kluster perumahan di daerah penyangga Jakarta tidak punya akses transportasi umum yang baik," terangnya kepada MNC Portal Indonesia dikutip Senin (22/1/2024).
Kedua, lanjut Fajry, perlunya mengundang stakeholders terkait untuk membicarakan rencana ini ke para pelaku usaha termasuk para penjual mobil bekas yang sebagian besar adalah UMKM.
"Saran saya, kenaikan tarif tersebut penerimaannya perlu di-earmark untuk memperbaiki transpotasi umum. Dengan pertimbangan kondisi politik terkini, agar kemudian tidak disalah persepsikan untuk membiayai hal yang lain seperti pembangunan IKN dan sebagainya," urainya.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk argumen kendaraan listrik jangan menggunakan kerangka kebijakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan tapi lebih sebagai kebijakan industri (industrial policy).
"Dengan gap perbedaaan biaya kepemilikan yang semakin jauh antara kendaraan menggunakan combustion engine dengan kendaraan listrik, saya kira sudah cukup. Tidak usah menggunakan instrumen subsidi, biar subsidi hanya untuk transportasi umum," jelasnya.
"Di samping itu, saya berpendapat jika perlu memperbanyak pelaku usaha kendaraan listrik agar masyarakat tidak curiga kalau kebijakan ini hanya menguntungkan pengusaha tertentu," tutupnya
Fajry menilai rencana itu sejatinya bagus mengingat banyak eksternalitas negatif yang dihasilkan dari kendaran pribadi, dari polusi sampai kemacetan sehingga pajak dapat menjadi instrumen.
"Tapi, perlu ada studinya terlebih dahulu. Apakah benar bisa mengalihkan penggunaan pribadi ke kendaraan umum? Mengingat tidak semua penduduk, punya akses transportasi umum yang baik dari tempat tinggalnya. Contoh, beberapa kluster perumahan di daerah penyangga Jakarta tidak punya akses transportasi umum yang baik," terangnya kepada MNC Portal Indonesia dikutip Senin (22/1/2024).
Kedua, lanjut Fajry, perlunya mengundang stakeholders terkait untuk membicarakan rencana ini ke para pelaku usaha termasuk para penjual mobil bekas yang sebagian besar adalah UMKM.
"Saran saya, kenaikan tarif tersebut penerimaannya perlu di-earmark untuk memperbaiki transpotasi umum. Dengan pertimbangan kondisi politik terkini, agar kemudian tidak disalah persepsikan untuk membiayai hal yang lain seperti pembangunan IKN dan sebagainya," urainya.
Ia pun menyarankan pemerintah untuk argumen kendaraan listrik jangan menggunakan kerangka kebijakan untuk memperbaiki kondisi lingkungan tapi lebih sebagai kebijakan industri (industrial policy).
"Dengan gap perbedaaan biaya kepemilikan yang semakin jauh antara kendaraan menggunakan combustion engine dengan kendaraan listrik, saya kira sudah cukup. Tidak usah menggunakan instrumen subsidi, biar subsidi hanya untuk transportasi umum," jelasnya.
"Di samping itu, saya berpendapat jika perlu memperbanyak pelaku usaha kendaraan listrik agar masyarakat tidak curiga kalau kebijakan ini hanya menguntungkan pengusaha tertentu," tutupnya
(nng)