Enggartiasto: Prosedur Birokratis Ganjal Program Atasi Dampak Pandemi

Kamis, 13 Agustus 2020 - 22:26 WIB
loading...
Enggartiasto: Prosedur...
Berbagai strategi yang disiapkan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi covid-19 adalah hal yang baik. Sayangnya di penerapannya, kerap kali teradang proses birokrasi yang berbelit, tak praktis, dan kurang mampu sigap di tengah kondisi pandemi ini. Fot
A A A
JAKARTA - Berbagai strategi yang disiapkan pemerintah untuk mengatasi dampak pandemi covid-19 adalah hal yang baik. Stimulus ekonomi diharap bisa mendongkrak pasar dan pelaku untuk kembali berkegiatan. Di sisi lain, kebijakan bantuan sosial dan gaji ke-13 adalah hal yang pas untuk membangkitkan daya beli masyarakat.Beragam program ini membutuhkan langkah cepat.

(Baca Juga: Taktik 'Gas dan Rem' Ala Jokowi Seperti Apa? Ini Penjelasan Erick Thohir )

Sayangnya di penerapannya, kerap kali teradang proses birokrasi yang berbelit, tak praktis, dan kurang mampu sigap di tengah kondisi pandemi ini. Akibatnya, banyak pihak yang merasa tak puas, termasuk kalangan bawah. Demikian Enggartiasto Lukita, mantan Menteri Perdagangan menyampaikan pandangannya sebuah diskusi daring di Jakarta, Kamis (13/8/2020).

"Langkah yang diambil oleh Presiden bahwa perlu ada keseimbangan gas dan rem sangat tepat. Karena tidak mungkin hanya dilakukan pengetatan semata. Demikian juga upaya yangg dilakukan pemerintah sudah sangat baik. Tetapi yang menjadi soal adalah dalam tahapan pelaksanaannya yangg tampak masih belum sesuai. Juga dengan proses birokrasi yang "membelenggu" sehingga proses ini dan itu masih begitu panjang," kata Enggartiasto dalam diskusi daring bertajuk Meramu Resep Menghadapi Ancaman Resesi Ekonomi.

(Baca Juga: Luhut Akui Ada Kemungkinan Indonesia Resesi, Pemerintah Kerja Keras )

Enggartiasto juga menyebutkan, berbagai stimulus dan bantuan itu perlu pengawasan ketat. Sebagai contoh, anggaran sebesar Rp30 triliun yang disalurkan Himbara, untuk memberikan kredit kepada pelaku ekonomi, selayaknya dipantau bersama oleh OJK, BI, Kemenkeu dan Kementerian BUMN.

Dia juga menyerukan, agar investasi kembali masuk dengan lancar, perlu diberikan sweetener. Pembebasan pajak selama 5 tahun bisa diberikan, agar investor ramai menyemarakkan perekonomian di Tanah Air. Sedangkan dalam persoalan ekport-import, dia menyarankan perlu penerapan semacam barter dengan negara lain untuk produk tertentu. Tujuannya, agar kedua negara, atau kelompok negara bisa sama-sama bangkit dari pandemi.

Kepada masyarakat kelas menengah hingga ke atas, diminta pula untuk dapat lebih menggenjot konsumsi dalam rangka berkontribusi membantu pemerintah menahan ekonomi dari resesi. Masyarakat kelas menengah ke bawah saat ini cenderung takut untuk keluar dari rumah dan sengaja membatasi belanja untuk menjaga cadangan keuangannya.

“Mereka juga menjaga cadangan keuangannya. Ini tercermin dari peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang tumbuh positif di perbankan,” ujarnya.

(Baca Juga: Dibayangi Resesi, Tidak Bisa Gas Pol Kesehatan karena Bikin Ekonomi Hancur )

Sementara itu, Ekonom dan Founder Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Hendri Saparini menyatakan, kontribusi konsumsi yang sebesar 58% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) ternyata disokong oleh desil tertinggi. Ia menyebutkan porsi pengeluaran 40% penduduk terbawah hanya sekitar 17%, sedangkan 20 persen penduduk tertinggi adalah lebih dari 45 persen.

“Kalau mereka tidak didorong dengan kebijakan maka itu menjadi berat. Kita berharap ada kebijakan untuk mendorong agar semua level rumah tangga dari desil satu sampai 10 melakukan spending,” katanya.

Hendri berharap pemerintah dapat membuat kebijakan dan program-program yang mampu mendorong konsumsi seluruh lapisan masyarakat Indonesia agar pertumbuhan ekonomi tidak terkontraksi.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Berita Terkait
Risiko Resesi Amerika...
Risiko Resesi Amerika Semakin Besar, Begini Isi Ramalan Goldman Sachs
Resesi Mengancam Ekonomi...
Resesi Mengancam Ekonomi Terbesar Uni Eropa Diwarnai Runtuhnya Pesanan Industri
Gejolak Resesi di AS...
Gejolak Resesi di AS Bikin Kemenkeu Waspada
Amerika Disebut Sudah...
Amerika Disebut Sudah Jatuh ke Dalam Resesi, Begini Penjelasannya
Was-was Jepang-Inggris...
Was-was Jepang-Inggris Menuju Resesi, Jokowi: Jangan Sampai Serupiah Pun Melesat dari Rencana
Adakah Dampak Resesi...
Adakah Dampak Resesi Jepang ke Ekonomi Indonesia?
Deretan Negara Maju...
Deretan Negara Maju yang Terkena Resesi, Siapa Selanjutnya?
Giliran Ekonomi Jerman...
Giliran Ekonomi Jerman Diramalkan Bakal Jatuh ke Jurang Resesi
Kabar Baik dari AS,...
Kabar Baik dari AS, Alarm Resesi Tak Lagi Berbunyi di Kuartal I/2024
Rekomendasi
Prihatin Masalah Kesehatan...
Prihatin Masalah Kesehatan Ibu Hamil, FK Unair Adakan Bakti Sosial di Tambaksari
Ini Alasan PB PGRI Dukung...
Ini Alasan PB PGRI Dukung Kembalinya Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA
Lalu Lintas Padat, One...
Lalu Lintas Padat, One Way Diberlakukan dari Puncak Arah Jakarta Siang Ini
Berita Terkini
3 Pelabuhan Afrika yang...
3 Pelabuhan Afrika yang Dibangun China, Jejak Kuat Tiongkok di Jalur Perdagangan Global
36 menit yang lalu
Cek SPPT PBB Online...
Cek SPPT PBB Online di Jakarta Makin Mudah, Begini Caranya
3 jam yang lalu
Kekayaan La Nyalla Mattalitti,...
Kekayaan La Nyalla Mattalitti, Segini yang Dilaporkan ke KPK
4 jam yang lalu
Harga Emas Antam Masih...
Harga Emas Antam Masih di Rp1.965.000 per Gram, Ini Rinciannya
5 jam yang lalu
China Respons Tarif...
China Respons Tarif 245% Trump: Kami Tidak Takut Perang
5 jam yang lalu
China Aktifkan Reaktor...
China Aktifkan Reaktor Thorium, Energi Nuklir Bersih Pertama di Dunia
6 jam yang lalu
Infografis
Dampak Mengerikan dari...
Dampak Mengerikan dari Serangan Bom Fosfor Putih Israel
Copyright ©2025 SINDOnews.com All Rights Reserved