Duhh..... RPP Sektor Kehutanan dan Perkebunan Rugikan Petani Rp546 Triliun
loading...
A
A
A
Satu lagi yang dianggap kebijakan pemerintah tidak berpihak pada petani sawit, kata Gulat, kalau kebun perusahaan terindikasi dalam kawasan hutan lindung, diberi waktu berusaha di sana selama 15 tahun. “Tapi kalau petani sawit di kawasan hutan lindung, harus segera dikembalikan kepada negara,” kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini.
Lantaran itulah, kata Gulat, di surat Apkasindo kepada Presiden meminta semua kebun sawit petani yang berada dalam kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan, pemetaan dan penataan batas, berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UUCK, dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.
“Kami juga minta dimasukkan hak dan kepentingan rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian kepemilikan lahan pekebun sawit dan kami juga minta difasilitasi untuk mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan itu,” ujarnya.
Selain itu DPP Apkasindo juga menyoroti dan keberatan dengan ketentuan Pasal 55 RPP yang bertentangan dengan Pasal 110B UU Cipta Kerja karena mengatur ketentuan proses penyidikan yang sedang berjalan atas dugaan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja tetap dilanjutkan. Padahal ketentuan Pasal 110B UU Cipta Kerja sudah jelas mengatur kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tersebut tidak dikenakan sanksi pidana, melainkan sanksi administrasi.
Dengan demikian jika pun ada proses penyidikan yang sedang berjalan seharusnya dihentikan demi hukum karena bukan tidak pidana, bukan malah melanjutkan proses penyidikannya.
“Proses penyidikan itu muaranya adalah sanksi pidana, jadi kalau UU CK sudah menentukan sanksinya adalah administrasi, maka adalah salah besar melanjutkan proses penyidikan itu”, kata Gulat Manurung.
Sementara itu, Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo, justru meminta supaya pemerintah segera membuat pasal torpedo berupa pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu. “Mumpung Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan sedang digodok, bikin saja itu,” pintanya.
Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. “Kalau rakyat itu petani sawit, biar dia bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” katanya.
Toh juga, kata dia, tidak ada kesalahan rakyat diklaim kawasan hutan itu, otoritas kehutanan saja yang lamban melakukan tata batas.
“Kalau dalam 5 tahun pemerintah belum juga bisa menyelesaikan pekerjaannya, pengakuan sementara tadi dipermanenkan saja, biar ada kepastian hukum bagi rakyat,” pintanya.
Lantaran itulah, kata Gulat, di surat Apkasindo kepada Presiden meminta semua kebun sawit petani yang berada dalam kawasan hutan yang masih dalam tahap penunjukan, pemetaan dan penataan batas, berdasarkan tanda bukti hak berupa Surat Tanda Daftar Budidaya, Hak-Hak Adat, Tanda bukti Jual Beli lahan Pekebun dan Tanda Bukti Hak lainnya yang diakui masyarakat hukum adat setempat yang terbit sebelum berlakunya UUCK, dikeluarkan dari klaim kawasan hutan.
“Kami juga minta dimasukkan hak dan kepentingan rakyat yang terindikasi dalam kawasan hutan ke dalam penyusunan RPP dengan membuat pasal-pasal khusus tentang penyelesaian kepemilikan lahan pekebun sawit dan kami juga minta difasilitasi untuk mempermudah proses penyelesaian klaim kawasan hutan itu,” ujarnya.
Selain itu DPP Apkasindo juga menyoroti dan keberatan dengan ketentuan Pasal 55 RPP yang bertentangan dengan Pasal 110B UU Cipta Kerja karena mengatur ketentuan proses penyidikan yang sedang berjalan atas dugaan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan sebelum terbitnya UU Cipta Kerja tetap dilanjutkan. Padahal ketentuan Pasal 110B UU Cipta Kerja sudah jelas mengatur kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tersebut tidak dikenakan sanksi pidana, melainkan sanksi administrasi.
Dengan demikian jika pun ada proses penyidikan yang sedang berjalan seharusnya dihentikan demi hukum karena bukan tidak pidana, bukan malah melanjutkan proses penyidikannya.
“Proses penyidikan itu muaranya adalah sanksi pidana, jadi kalau UU CK sudah menentukan sanksinya adalah administrasi, maka adalah salah besar melanjutkan proses penyidikan itu”, kata Gulat Manurung.
Sementara itu, Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sudarsono Soedomo, justru meminta supaya pemerintah segera membuat pasal torpedo berupa pasal pengakuan sementara atas hak rakyat yang ada di dalam klaim kawasan hutan itu. “Mumpung Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait kehutanan sedang digodok, bikin saja itu,” pintanya.
Pengakuan sementara tadi kata Sudarsono sangat penting biar rakyat bisa segera mengakses sumber daya. “Kalau rakyat itu petani sawit, biar dia bisa mengakses program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR),” katanya.
Toh juga, kata dia, tidak ada kesalahan rakyat diklaim kawasan hutan itu, otoritas kehutanan saja yang lamban melakukan tata batas.
“Kalau dalam 5 tahun pemerintah belum juga bisa menyelesaikan pekerjaannya, pengakuan sementara tadi dipermanenkan saja, biar ada kepastian hukum bagi rakyat,” pintanya.