Pentingnya Mencintai Produk Lokal

Selasa, 09 Maret 2021 - 05:16 WIB
loading...
Pentingnya Mencintai Produk Lokal
Penggunaan produk lokal akan memberikan multiplier effect bagi masyarakat banyak. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia menjadi pasar menggiurkan bagi para produsen, termasuk produsen barang impor . Kondisi ini harus dimanfaatkan oleh produsen lokal agar bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.

Imbauan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada pekan lalu akan pentingnya mencintai produk lokal pun harus menjadi perhatian semua pihak. Pasalnya, dengan kita sendiri menggunakan produk lokal, akan banyak pelaku usaha lain dalam rantai industri yang terlibat mulai dari hulu hingga hilir. Ujungnya, semua stakeholder bisa merasakan manfaatnya sehingga secara makro bisa menumbuhkan perekonomian nasional.



Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey berpendapat, pemerintah harus mengambil langkah strategis agar produk lokal bisa terus bersaing dengan produk impor. Salah satunya dengan cara memulai dari bagian hulu, di antaranya sektor produksi.

Menurutnya, apabila di bagian produksi masih terdapat hambatan maka produk lokal tetap tidak akan maksimal untuk bersaing dengan produk impor.

"Jadi kebijakan dari sisi hulunya harus benar-benar diperhatikan, harus kondusif, diberikan banyak keleluasaan lagi untuk bisa berkembang, dan harus ada insentif bagi para produsen produk lokal,” ujar Roy kepada KORAN SINDO.



Pekan lalu, kampanye mencintai produk dalam negeri kembali digaungkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada rapat kerja Kementerian Perdagangan, Kamis (4/3), Kepala Negara mengingatkan kembali pentingnya menggunakan produk lokal hasil karya anak bangsa.

Menteri Perdagangan M Lutfi mengatakan, pernyataan Presiden Jokowi agar membenci produk asing bukan berarti Presiden anti-impor. Pasalnya, ujar Lutfi, dalam sambutannya saat rapat tersebut, Presiden juga menyampaikan pula bahwa Indonesia bukan bangsa yang menyukai proteksionisme karena kebijakan itu justru merugikan.

Menurut Lutfi, pernyataan tersebut bermakna Presiden Jokowi mengingatkan bahwa praktik perdagangan digital seperti yang saat ini marak membunuh usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pemandangan serupa, tutur dia, bisa dilihat dari pusat perbelanjaan di Jakarta dan di kota-kota besar lainnya yang didominasi merek-merek terkenal dari luar negeri.

"Untuk itu, kita harus membela, melindungi, dan memberdayakan UMKM agar naik kelas. Untuk itu, produk-produk Indonesia perlu diberikan tempat terbaik di negeri sendiri agar dapat naik kelas," ujar Lutfi dalam keterangan tertulisnya.



Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri (Dirjen PDN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Syailendra menyatakan, pernyataan Presiden Jokowi saat membuka Rapat Kerja pekan lalu tidak perlu ditafsirkan macam-macam. Pernyataan itu. kata dia, bermakna bahwa sebenarnya produk Indonesia lebih bagus dan kualitasnya juga luar biasa bagus.

"Bapak Presiden ingin menunjukkan bahwa ini produk kita lebih bagus kok. Kecuali kita enggak bisa bikin. Tapi kalau seperti tekstil, kemudian produk-produk kulit, apalagi produk fashion, pernak-pernik unik, enggak kalah sama produk luar (negeri)," ucap Syailendra saat dihubungi KORAN SINDO, di Jakarta, Minggu (7/3) malam.

Dalam perdagangan dunia, Indonesia memang tidak bisa lepas dari aktivitas ekspor-impor. Ini karena tidak semua barang yang dikonsumsi masyarakat bisa tersedia sepenuhnya, baik itu berupa produk jadi ataupun bahan baku untuk industri.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, untuk mendukung aktivitas ekonomi nasional, Indonesia masih membutuhkan barang impor. Sepanjang tahun lalu misalnya, total nilai impor untuk bahan baku/bahan penolong mencapai USD103 miliar, sedangkan untuk barang modal mencapai USD23,7 miliar. Nilai tersebut jauh lebih besar dibanding impor barang konsumsi yang totalnya sebesar USD14,66 miliar.

Perlu Edukasi
Terkait penguatan produk lokal, Roy memberikan sejumlah saran. Di antaranya, harus ada sosialisasi atau gerakan yang diberlakukan secara nasional untuk mengedukasi konsumen dalam negeri. Roy menilai, gerakan ini bukan hanya untuk euforia tetapi harus bisa dilaksanakan eksekusinya dari gerakan tersebut. Dia mencontohkan, saat ini ada gerakan 'Bangga Buatan Indonesia' yang diharapkan bisa diimplementasikan di setiap wilayah Indonesia dan bukan sekadar slogan.

"Di sinilah peran para pemerintah daerah harus bisa 'menghidupkan' kembali gerakan 'Bangga Buatan Indonesia', lalu harus ada evaluasi agar terlihat bila ada permasalahan di dalamnya,” tegas Roy.



Hal lain yang diperlukan adalah adanya sistem pengawasan yang baik guna meningkatkan kualitas produk lokal. Roy berujar, jika gerakan 'Bangga Buatan Indoneia' ini tidak ada yang mengawasi dari pemerintah daerah maka tidak akan efektif.

“Tingkat kesadaran dari sisi konsumen harus lebih ditingkatkan dan harus ada program yang nyata dari pemerintah daerah untuk bisa meningkatkan lagi nilai produk lokal,” katanya.

Dalam upaya memenuhi permintaan produk lokal di dalam negeri, kata Roy, Aprindo melihat bahwa hal itu belum bisa dikatakan cukup. Pasalnya, produk lokal saat ini masih dalam status berkembang, sehingga masih perlu perhatian khusus dari pemerintah pusat maupun daerah.

Perhatian yang dimaksud adalah proses edukasi kepada masyarakat maupun para pelaku usaha dalam mengembangkan sebuah produk. Termasuk hal-hal detail mengenai cara pengemasan yang menarik agar produk lokal semakin diminati.

"Untuk saat ini jumlah produk lokal yang mampu bersaing dengan produk impor sekitar 50%. Masih banyak lagi yang harus ditingkatkan seperti kualitasnya, cara pengemaannya, harganya, agar mampu menarik minat pasar," kata Roy.

Sementara itu, Executive Director Retailer Services Nielsen Yongky Susilo menyarankan, agar konsumen Indonesia loyal kepada produk lokal ada beberapa syarat yang harus dipenuhi para pengelola brand. Misalnya, sebuah produk harus dibangun dengan brand yang baik agar konsumen bisa ikut merasakan pengalaman dari barang yang dibeli.

"Jika ingin membuat konsumen kita loyal terhadap produk sendiri, kita harus bangun story di produknya. Karena konsumen saat ini tidak melihat dari sisi prodaknya saja, tetapi melihat cerita yang ada dalam produk tersebut," ujar Yongky.

Dia menambahkan, saat ini pemerintah masih mencari cara untuk mengurangi dominasi produk impor yang ada di e-commerce. Masih besarnya dominasi produk luar di pasar digital dikarenakan karakteristik market Indonesia sendiri.

"Menurut saya isu dasanya adalah perilaku pasar yang masih skeptis dengan produk lokal," ungkapnya.

Secara garis besar, Yongky menyebutkan, ada dua karakteristik umum pasar Indonesia, yaitu menyukai merek luar negeri dan sensitif terhadap harga. Karena itu, apa yang terjadi saat ini sedikit banyak menggambarkan karakter dari konsumen kita sendiri. Meski begitu, kata dia, beberapa produk lokal saat ini sudah mulai menggeliat walau mereka masih berjuang keras untuk bersaing dengan produk luar.

"Pemerintah harus proaktif membantu produsen, terutama yang berada pada sektor UKM melalui insentif, keringanan pajak, pemodalan, dan yang paling penting knowledge-nya,” kata dia.

Yongky menambahkan, selama ini belum banyak produk UKM yang peka terhadap teknologi. Sehingga, pemerintah perlu melakukan sosialisai berkelanjutan untuk bisa menangani persoalan ini.
Hal tersebut untuk merespons potensi dari penjualan online yang masih cukup tinggi.

Yang tak kalah penting adalah, perlunya dilakukan pendampingan berkelanjutan oleh pemerintah agar para produsen dapat memastikan kualitas produk yang dihasilkan sudah sesuai standar.

“Proses pendampingan ini harus diikuti dengan menjaga kualitas produk, peningkatan volume produksi, pemasaran dan manajemen marketing yang mesti dilakukan. Dengan begitu produk lokal akan lebih mampu mencuri perhatian pasar," katanya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2430 seconds (0.1#10.140)