Demi Efisiensi, Sektor Usaha Perlu Berubah
loading...
A
A
A
"Sebagai contoh, nilai akuntabilitas perusahaan tentu tumbuh juga dari SDM-nya. Jangan sampai dengan menutup beberapa kantor cabang tapi tidak diimbangi dengan skill SDM menurunkan performa perusahaan. Jadi, SDM juga menentukan strategi perusahaan ke depannya," tuturnya.
Meskipun tidak bisa diterapkan pada semua sektor usaha, namun Shinta melihat officeless bisa memberikan keuntungan ‎salah satunya menghemat biaya pengeluaran seperti biaya tagihan listrik, air dan lainnya yang memang bisa lebih ditekan. Selin itu, bagi karyawan cenderung lebih fleksibel dalam hal kerja. Mereka tidak lagi terpaku pada aturan 8-5 atau 9-6.
"Tanggung jawab pekerjaan berupa laporan harus tetap berjalan. Sehingga meski bekerja dari jarak jauh tetap harus tanggung jawab terhadap pekerjaan," katanya.
Tidak Ada Jam Kerja
Dihubungi terpisah, Dosen Administrasi Perkantoran Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), Mila Viendyasari mengatakan era officeless sudah banyak dilakukan sejumlah perusahaan di luar negeri. Sebut saja Amerika, Eropa dan Jepang. Dulu, sistem kerja seperti ini sering disebut dengan flexy work dimana pekerja bisa bekerja tanpa harus datang ke kantor.
“Kalau dilihat dari data, negara yang sangat tinggi menerapkan ini contohnya yaitu Belgia, Finlandia lebih dari 20%. Dari tahun 2010 keatas mereka sudah terapkan sistem kerja flexy work. Amerika juga lumayan tinggi, Swedia paling tinggi,” katanya.
Menurut dia, negara-negara tersebut mampu menerapkan sistem officeless karena budaya disiplin pekerja sudah tinggi. Sehingga walaupun tidak datang ke kantor namun mereka sudah otomatis mengerjakan tugas sesuai kewajiban. Jika ditelisik lebih lanjut, masih ada hal-hal pemicu yang harus diterapkan untuk sistem kerja disini. Misalnya untuk karyawan yang datang on time akan mendapat penghargaan. Atau sebaliknya, pekerja yang datang telat akan diberikan sanksi.
Baca juga:Efek WFH, Perusahaan Pangkas Luas Kantor Sampai 30%
Dia mengungkapkan, penerapan work from home (WFH) yang paling penting adalah budaya kerjanya. Di Indonesia agak syok culture, karena biasanya untuk datang ke kantor tepat waktu harus ada iming-iming atau ada sanksi kalau terlambat.
“Bayangkan mental masih begitu terus sekarang diterapkan WFH, bisa jadi bermalas-malas. Memang budaya ini PR- nya bersama terutama untuk perusahaan harus pintar bagaimana menerapkan karyawan agar disiplin tapi dengsn sistem WFH. Perusahaan harus punya sistem yang baik untuk pengontrolan pekerjaan karyawan,” paparnya.
Meskipun tidak bisa diterapkan pada semua sektor usaha, namun Shinta melihat officeless bisa memberikan keuntungan ‎salah satunya menghemat biaya pengeluaran seperti biaya tagihan listrik, air dan lainnya yang memang bisa lebih ditekan. Selin itu, bagi karyawan cenderung lebih fleksibel dalam hal kerja. Mereka tidak lagi terpaku pada aturan 8-5 atau 9-6.
"Tanggung jawab pekerjaan berupa laporan harus tetap berjalan. Sehingga meski bekerja dari jarak jauh tetap harus tanggung jawab terhadap pekerjaan," katanya.
Tidak Ada Jam Kerja
Dihubungi terpisah, Dosen Administrasi Perkantoran Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), Mila Viendyasari mengatakan era officeless sudah banyak dilakukan sejumlah perusahaan di luar negeri. Sebut saja Amerika, Eropa dan Jepang. Dulu, sistem kerja seperti ini sering disebut dengan flexy work dimana pekerja bisa bekerja tanpa harus datang ke kantor.
“Kalau dilihat dari data, negara yang sangat tinggi menerapkan ini contohnya yaitu Belgia, Finlandia lebih dari 20%. Dari tahun 2010 keatas mereka sudah terapkan sistem kerja flexy work. Amerika juga lumayan tinggi, Swedia paling tinggi,” katanya.
Menurut dia, negara-negara tersebut mampu menerapkan sistem officeless karena budaya disiplin pekerja sudah tinggi. Sehingga walaupun tidak datang ke kantor namun mereka sudah otomatis mengerjakan tugas sesuai kewajiban. Jika ditelisik lebih lanjut, masih ada hal-hal pemicu yang harus diterapkan untuk sistem kerja disini. Misalnya untuk karyawan yang datang on time akan mendapat penghargaan. Atau sebaliknya, pekerja yang datang telat akan diberikan sanksi.
Baca juga:Efek WFH, Perusahaan Pangkas Luas Kantor Sampai 30%
Dia mengungkapkan, penerapan work from home (WFH) yang paling penting adalah budaya kerjanya. Di Indonesia agak syok culture, karena biasanya untuk datang ke kantor tepat waktu harus ada iming-iming atau ada sanksi kalau terlambat.
“Bayangkan mental masih begitu terus sekarang diterapkan WFH, bisa jadi bermalas-malas. Memang budaya ini PR- nya bersama terutama untuk perusahaan harus pintar bagaimana menerapkan karyawan agar disiplin tapi dengsn sistem WFH. Perusahaan harus punya sistem yang baik untuk pengontrolan pekerjaan karyawan,” paparnya.