Penerapan Pajak Netflix Cs Diminta Dilakukan Bertahap
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapan pajak produk digital diminta dilakukan secara bertahap, mengingat Indonesia saat ini masih di posisi sebagai negara konsumen. Seperti diketahui pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan produk digital dari luar negeri akan diterapkan per 1 Juli 2020.
( )
Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/PMK.03/2020 tentang pemberlakuan PPN atas barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang melewati perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi PDIP Indah Kurnia menyarankan, agar PMK tersebut diberlakukan secara bertahap.
"Mengenai pajak digitalisasi ekonomi ini, saya berada di posisi yang diantara bagaimana kita merasakan betul beban dari pemerintah akibat pandemi Covid-19. Namun, kita harus bisa melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif kepada para petugas pajak dan konsumen agar mereka bisa menerima PMK 48 dengan penuh kesadaran dan tidak menimbulkan gejolak," ujar Indah dalam Diskusi Online "Meneropong Pajak Digital Pasca Pandemi" di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Berbicara tentang kegiatan digital, negara Indonesia saat ini masih di posisi sebagai negara konsumen. Masyarakat banyak menggunakan platform online seperti Zoom, dan di saat pandemi seperti ini, digital platform hiburan seperti Spotify, Netflix, Facebook, dan yang lainnya sangat membantu para pengguna untuk mengisi waktu mereka.
"Implementasi PMK 48 saya sarankan bisa bertahap, untuk platform yang bersifat produktif, jangan disentuh dulu. Tapi platform entertainment, atau yang bersifat konsumtif bisa disentuh terlebih dahulu, sehingga para konsumen bisa mengenal pemberian pajak 10% yang tidak ada mekanisme pengkreditan pajak masukan," ungkap Indah.
Ia mengatakan, pemberlakuan pajak ini berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lainnya. "Misalnya, PPN Pembangunan sebesar 2%. Orang yang membangun bangunan itu harus bayar 2%, karena dia dianggap sudah belanja semen, batu bata, dan kebutuhan lainnya dalam proses pembangunan, sehingga dia hanya kena 2%, itu bedanya," tambah Indah.
Menurutnya dalam hal ini, pemerintah juga harus terus melakukan pendekatan secara kontinyu, bukan hanya kepada perusahaan penyedia layanan platform digital, tapi juga ke negara asal perusahaan tersebut.
"Jadi jatuhnya government to government, bukan government to business lagi. Nantinya akan mengarah ke perdagangan internasional dengan mutual benefit antar negara yang bertransaksi. Kedepannya, kita harus punya pola pikir bahwa kita adalah negara produsen," imbuhnya.
Diharapkan olehnya pada saat pandemi Covid-19 ini, semua kebijakan yang diluncurkan pemerintah adalah kebijakan yang tidak kontraproduktif dengan upaya menjaga kebersamaan.
"Kebijakan-kebijakan itu juga harus membangun confidence dan trust antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Namanya pungutan, pasti psikologis masyarakat akan terganggu. Namun perlu diingat, bahwa kita harus terus berupaya agar produsen tetap produksi, konsumen tetap mengonsumsi secara bijak, dan ekonomi bisa bergerak dengan baik," tutur Indah.
( )
Hal itu tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/PMK.03/2020 tentang pemberlakuan PPN atas barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang melewati perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Fraksi PDIP Indah Kurnia menyarankan, agar PMK tersebut diberlakukan secara bertahap.
"Mengenai pajak digitalisasi ekonomi ini, saya berada di posisi yang diantara bagaimana kita merasakan betul beban dari pemerintah akibat pandemi Covid-19. Namun, kita harus bisa melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif kepada para petugas pajak dan konsumen agar mereka bisa menerima PMK 48 dengan penuh kesadaran dan tidak menimbulkan gejolak," ujar Indah dalam Diskusi Online "Meneropong Pajak Digital Pasca Pandemi" di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Berbicara tentang kegiatan digital, negara Indonesia saat ini masih di posisi sebagai negara konsumen. Masyarakat banyak menggunakan platform online seperti Zoom, dan di saat pandemi seperti ini, digital platform hiburan seperti Spotify, Netflix, Facebook, dan yang lainnya sangat membantu para pengguna untuk mengisi waktu mereka.
"Implementasi PMK 48 saya sarankan bisa bertahap, untuk platform yang bersifat produktif, jangan disentuh dulu. Tapi platform entertainment, atau yang bersifat konsumtif bisa disentuh terlebih dahulu, sehingga para konsumen bisa mengenal pemberian pajak 10% yang tidak ada mekanisme pengkreditan pajak masukan," ungkap Indah.
Ia mengatakan, pemberlakuan pajak ini berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lainnya. "Misalnya, PPN Pembangunan sebesar 2%. Orang yang membangun bangunan itu harus bayar 2%, karena dia dianggap sudah belanja semen, batu bata, dan kebutuhan lainnya dalam proses pembangunan, sehingga dia hanya kena 2%, itu bedanya," tambah Indah.
Menurutnya dalam hal ini, pemerintah juga harus terus melakukan pendekatan secara kontinyu, bukan hanya kepada perusahaan penyedia layanan platform digital, tapi juga ke negara asal perusahaan tersebut.
"Jadi jatuhnya government to government, bukan government to business lagi. Nantinya akan mengarah ke perdagangan internasional dengan mutual benefit antar negara yang bertransaksi. Kedepannya, kita harus punya pola pikir bahwa kita adalah negara produsen," imbuhnya.
Diharapkan olehnya pada saat pandemi Covid-19 ini, semua kebijakan yang diluncurkan pemerintah adalah kebijakan yang tidak kontraproduktif dengan upaya menjaga kebersamaan.
"Kebijakan-kebijakan itu juga harus membangun confidence dan trust antara pemerintah, industri, dan masyarakat. Namanya pungutan, pasti psikologis masyarakat akan terganggu. Namun perlu diingat, bahwa kita harus terus berupaya agar produsen tetap produksi, konsumen tetap mengonsumsi secara bijak, dan ekonomi bisa bergerak dengan baik," tutur Indah.
(akr)