Saatnya Mengolah Hasil Tambang
loading...
A
A
A
“Agar jangan menjadi pepesan kosong yang heboh di masyarakat. Atau (hanya) menimbulkan euforia, tapi berujung hampa,” ujarnya kepada Koran SINDO, Senin (24/1/2022).
Diungkapkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan plat yang bergerak di bidang tambang beberapa tahun lalu sudah mewacanakan untuk bekerja sama dengan negara lain yang sudah lebih dulu mengolah logam tanah jarang. Namun, sampai saat ini belum ada realisasinya. Mulyanto kembali menekankan pentingnya studi komprehensif sehingga dapat diketahui jumlah logam berharga tersebut.
Dia menuturkamn, sampai saat ini, belum aturan detail untuk pemanfaatan dan pengolahan logam tanah jarang ini. Mulyanto mewanti-wanti agar Indonesia harus terus belajar dan hati-hati dalam pengelolaan ini. Tujuannya, agar sumber daya alam (SDA) langka ini tidak jatuh ke tangan asing atau diekspor mentah-mentah.
Dalam pengelolaan minerba, pemerintah sebenarnya secara bertahap mendorong untuk dilakukan pengolahan di dalam negeri. Pemerintah terus menggenjot pembangunan smelter. Pemerintah pun secara bertahap menghentikan ekspor mentah dari nikel. Pada tahun 2022, bauksit harus diolah di dalam negeri. “Terkait menghentikan ekspor bauksit dan tembaga mentah serta mendorong hilirisasinya adalah amanat UU Minerba. Secara bertahap ini harus disiapkan dan diimplementasikan,” ujar dia.
Berdasarkan data dari hasil penyelidikan Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2019-2020, disebutkan bahwa keterdapatan dan potensi LTJ di Indonesia dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan berbagai jenis endapan.
Di Sumatera diperkirakan memiliki sumber daya mendekati 20.000 ton berupa endapan laterit, yaitu di Sumatera Utara (Tapanuli Utara), sedangkan di bagian Sumatera lainnya ditemukan berupa lokasi-lokasi indikasi.
Sedangkan Bangka Belitung dijumpai bersama dengan endapan Timah. Ketersediaan sumber daya LTJ dalam bentuk mineral monasit lebih dari 186.000 ton, berupa Xenotim lebih dari 20.000 ton dalam endapan alluvial timah. Adapun di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat, memiliki potensi LTJ tipe laterit sebesar 219 ton, sedangkan di Sulawesi, sumber daya LTJ jenis laterit sekitar 443 ton.
Mengutip data Pusat Sumber Daya Mineral Batu bara dan Panas Bumi (PSDMBP) Badan Geologi, selain di Sidoarjo, terdapat 28 lokasi lain di Indonesia yang memiliki potensi logam tanah jarang. Di antaranya 16 lokasi di Sumatera, tujuh lokasi di Kalimantan, tiga lokasi di Sulawesi dan dua lokasi di Pulau Jawa.
Sekadar diketahui, logam tanah jarang merupakan bahan baku utama sejumlah produk teknologi seperti smartphone, satelit, hingga peralatan militer. Logam jenis ini kini menjadi rebutan sejumlah negara industri seperti China dan Amerika Serikat.
Jauh sebelum rare earth ramai diperbicangkan, di Indonesia sebenarnya telah banyak ditemukan cadangan mineral penting yang berperan dalam industri manufaktur. Sebut saja nikel, timah, bauksit hingga tembaga. Dari sejumlah mineral tersebut, ada yang sudah diproduksi dan mayoritas di ekspor secara mentah.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, sepanjang 2021 produksi tembaga Indonesia mencapai 289.500 ton, emas 79 ton, perak 397 ton, timah 34.500 ton, feronikel 1,58 juta ton dan pig iron 799.000 ton. Akan tetapi, untuk mineral tanah jarang memang belum terlalu banyak diketahui masyarakat awam.
Diungkapkan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan plat yang bergerak di bidang tambang beberapa tahun lalu sudah mewacanakan untuk bekerja sama dengan negara lain yang sudah lebih dulu mengolah logam tanah jarang. Namun, sampai saat ini belum ada realisasinya. Mulyanto kembali menekankan pentingnya studi komprehensif sehingga dapat diketahui jumlah logam berharga tersebut.
Dia menuturkamn, sampai saat ini, belum aturan detail untuk pemanfaatan dan pengolahan logam tanah jarang ini. Mulyanto mewanti-wanti agar Indonesia harus terus belajar dan hati-hati dalam pengelolaan ini. Tujuannya, agar sumber daya alam (SDA) langka ini tidak jatuh ke tangan asing atau diekspor mentah-mentah.
Dalam pengelolaan minerba, pemerintah sebenarnya secara bertahap mendorong untuk dilakukan pengolahan di dalam negeri. Pemerintah terus menggenjot pembangunan smelter. Pemerintah pun secara bertahap menghentikan ekspor mentah dari nikel. Pada tahun 2022, bauksit harus diolah di dalam negeri. “Terkait menghentikan ekspor bauksit dan tembaga mentah serta mendorong hilirisasinya adalah amanat UU Minerba. Secara bertahap ini harus disiapkan dan diimplementasikan,” ujar dia.
Berdasarkan data dari hasil penyelidikan Badan Geologi Kementerian ESDM pada 2019-2020, disebutkan bahwa keterdapatan dan potensi LTJ di Indonesia dijumpai di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan berbagai jenis endapan.
Di Sumatera diperkirakan memiliki sumber daya mendekati 20.000 ton berupa endapan laterit, yaitu di Sumatera Utara (Tapanuli Utara), sedangkan di bagian Sumatera lainnya ditemukan berupa lokasi-lokasi indikasi.
Sedangkan Bangka Belitung dijumpai bersama dengan endapan Timah. Ketersediaan sumber daya LTJ dalam bentuk mineral monasit lebih dari 186.000 ton, berupa Xenotim lebih dari 20.000 ton dalam endapan alluvial timah. Adapun di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat, memiliki potensi LTJ tipe laterit sebesar 219 ton, sedangkan di Sulawesi, sumber daya LTJ jenis laterit sekitar 443 ton.
Mengutip data Pusat Sumber Daya Mineral Batu bara dan Panas Bumi (PSDMBP) Badan Geologi, selain di Sidoarjo, terdapat 28 lokasi lain di Indonesia yang memiliki potensi logam tanah jarang. Di antaranya 16 lokasi di Sumatera, tujuh lokasi di Kalimantan, tiga lokasi di Sulawesi dan dua lokasi di Pulau Jawa.
Sekadar diketahui, logam tanah jarang merupakan bahan baku utama sejumlah produk teknologi seperti smartphone, satelit, hingga peralatan militer. Logam jenis ini kini menjadi rebutan sejumlah negara industri seperti China dan Amerika Serikat.
Jauh sebelum rare earth ramai diperbicangkan, di Indonesia sebenarnya telah banyak ditemukan cadangan mineral penting yang berperan dalam industri manufaktur. Sebut saja nikel, timah, bauksit hingga tembaga. Dari sejumlah mineral tersebut, ada yang sudah diproduksi dan mayoritas di ekspor secara mentah.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, sepanjang 2021 produksi tembaga Indonesia mencapai 289.500 ton, emas 79 ton, perak 397 ton, timah 34.500 ton, feronikel 1,58 juta ton dan pig iron 799.000 ton. Akan tetapi, untuk mineral tanah jarang memang belum terlalu banyak diketahui masyarakat awam.