Benarkah Vape Jadi Jembatan Lahirnya Perokok Baru?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Para ahli dari University College London baru-baru ini merilis hasil studi yang menyebutkan bahwa penggunaan vape di kalangan muda di Inggris tidak berkaitan dengan peningkatan konsumsi rokok konvensional.
Studi yang bertajuk “Association of quarterly prevalence of e-cigarette use with ever regular smoking among young adults in England” tersebut menjadi respons terhadap anggapan bahwa produk alternatif menyasar pengguna usia muda, yang dikhawatirkan akan menjembatani mereka untuk menggunakan rokok konvensional.
Fakta yang terjadi adalah bahwa vape merupakan jembatan dari pengguna rokok konvensional menuju berhenti merokok. Dengan menyasar kalangan muda berusia 16–24 tahun, studi ini menjadi yang pertama dengan pendekatan analisis time-series dari kurun waktu 2007 hingga 2018, untuk melihat dampak penggunaan vape terhadap peningkatan angka perokok .
Menurut ahli dari Department of Behavioural Science and Health, University College London Emma Beard, temuan tersebut penting mengingat adanya pandangan yang berbeda-beda di berbagai negara, terutama dari sisi kesehatan.
Pembuat kebijakan menerbitkan aturan yang termotivasi dari adanya pandangan bahwa vape dinilai menjadi gateway yang menghubungkan penggunanya ke rokok konvensional. Namun, ada juga negara yang menggunakan vape sebagai bagian dari kebijakan berhenti merokok.
Seperti halnya Emma, Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) Paido Siahaan mengamini, perbedaan pandangan yang juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan belum familiernya perokok maupun pemerintah dengan produk tembakau alternatif, serta manfaat yang diberikan produk untuk mengurangi risiko akibat merokok. Karenanya, diperlukan edukasi dan diseminasi kajian ilmiah.
“Banyak yang menganggap produk ini menjadi jembatan lahirnya perokok-perokok baru. Saya rasa pernyataan ini harus didasarkan pada argumentasi ilmiah, agar tidak menjadi sebuah opini tanpa dasar, karena selama 10 tahun saya di Industri ini, hampir tidak terdengar ada vapers yang menjadi perokok baru," kata Paido, ketika dihubungi.
Ia mencontohkan, studi kasus di Inggris, yang mana setelah kajian ilmiah dilakukan oleh banyak pihak, akhirnya vape dijadikan alat intervensi oleh pemerintah untuk menurunkan angka perokok di sana. Bahkan, sambung dia, Inggris akan menjadi negara pertama di dunia yang meresepkan rokok elektrik atau vape berlisensi medis agar membantu mengurangi angka merokok di negaranya.
Bukan untuk nonperokok
Studi dari University College London tersebut telah memperkaya penelitian-penelitian di berbagai negara yang menunjukkan bahwa rokok elektrik lebih rendah risiko dari rokok konvensional.
Menurut WHO International Agency for Research on Cancer, adanya rokok elektrik diharapkan menurunkan risiko bagi perokok dan berpotensi untuk mengurangi beban kesehatan masyarakat ketika banyak perokok mulai beralih. Meski demikian, rokok elektrik tidak diperuntukkan bagi nonperokok, terutama bagi mereka yang masih di bawah umur.
“Dalam Undang-Undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Gubernur, sudah sangat jelas mengatur dan melarang penggunaan Produk Tembakau di bawah usia yang ditentukan," terangnya.
"Soal penerapan aturan, sekarang tinggal bagaimana Pemerintah melakukan penegakan hukum saja. Perlu dipastikan juga apakah pemerintah serius atau tidak untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Jika memang serius, pemerintah bisa melakukan kajian ilmiah atau memakai data yang sudah ada, serta mengikuti apa yang sudah dilakukan Pemerintah Inggris,” tutup Paido.
Studi yang bertajuk “Association of quarterly prevalence of e-cigarette use with ever regular smoking among young adults in England” tersebut menjadi respons terhadap anggapan bahwa produk alternatif menyasar pengguna usia muda, yang dikhawatirkan akan menjembatani mereka untuk menggunakan rokok konvensional.
Fakta yang terjadi adalah bahwa vape merupakan jembatan dari pengguna rokok konvensional menuju berhenti merokok. Dengan menyasar kalangan muda berusia 16–24 tahun, studi ini menjadi yang pertama dengan pendekatan analisis time-series dari kurun waktu 2007 hingga 2018, untuk melihat dampak penggunaan vape terhadap peningkatan angka perokok .
Menurut ahli dari Department of Behavioural Science and Health, University College London Emma Beard, temuan tersebut penting mengingat adanya pandangan yang berbeda-beda di berbagai negara, terutama dari sisi kesehatan.
Pembuat kebijakan menerbitkan aturan yang termotivasi dari adanya pandangan bahwa vape dinilai menjadi gateway yang menghubungkan penggunanya ke rokok konvensional. Namun, ada juga negara yang menggunakan vape sebagai bagian dari kebijakan berhenti merokok.
Seperti halnya Emma, Ketua Asosiasi Konsumen Vape Indonesia (AKVINDO) Paido Siahaan mengamini, perbedaan pandangan yang juga terjadi di Indonesia. Hal tersebut disebabkan belum familiernya perokok maupun pemerintah dengan produk tembakau alternatif, serta manfaat yang diberikan produk untuk mengurangi risiko akibat merokok. Karenanya, diperlukan edukasi dan diseminasi kajian ilmiah.
“Banyak yang menganggap produk ini menjadi jembatan lahirnya perokok-perokok baru. Saya rasa pernyataan ini harus didasarkan pada argumentasi ilmiah, agar tidak menjadi sebuah opini tanpa dasar, karena selama 10 tahun saya di Industri ini, hampir tidak terdengar ada vapers yang menjadi perokok baru," kata Paido, ketika dihubungi.
Ia mencontohkan, studi kasus di Inggris, yang mana setelah kajian ilmiah dilakukan oleh banyak pihak, akhirnya vape dijadikan alat intervensi oleh pemerintah untuk menurunkan angka perokok di sana. Bahkan, sambung dia, Inggris akan menjadi negara pertama di dunia yang meresepkan rokok elektrik atau vape berlisensi medis agar membantu mengurangi angka merokok di negaranya.
Bukan untuk nonperokok
Studi dari University College London tersebut telah memperkaya penelitian-penelitian di berbagai negara yang menunjukkan bahwa rokok elektrik lebih rendah risiko dari rokok konvensional.
Menurut WHO International Agency for Research on Cancer, adanya rokok elektrik diharapkan menurunkan risiko bagi perokok dan berpotensi untuk mengurangi beban kesehatan masyarakat ketika banyak perokok mulai beralih. Meski demikian, rokok elektrik tidak diperuntukkan bagi nonperokok, terutama bagi mereka yang masih di bawah umur.
“Dalam Undang-Undang Kesehatan, Peraturan Pemerintah hingga Peraturan Gubernur, sudah sangat jelas mengatur dan melarang penggunaan Produk Tembakau di bawah usia yang ditentukan," terangnya.
"Soal penerapan aturan, sekarang tinggal bagaimana Pemerintah melakukan penegakan hukum saja. Perlu dipastikan juga apakah pemerintah serius atau tidak untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Jika memang serius, pemerintah bisa melakukan kajian ilmiah atau memakai data yang sudah ada, serta mengikuti apa yang sudah dilakukan Pemerintah Inggris,” tutup Paido.
(akr)