Hantu Stagflasi Bangkit Lagi? Ini Penyebab dan Dampaknya
loading...
A
A
A
Franziska menyatakan, stagflasi merupakan sesuatu yang sangat merugikan rumah tangga berpenghasilan rendah. Pasalnya, pertumbuhan yang lambat berarti lapangan kerja yang lebih sedikit dan upah yang lebih rendah.
“Sementara, inflasi yang tinggi berarti pada saat yang sama mengikis nilai riil, daya beli terutama rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mengandalkan upah dari pendapatan rumah tangga mereka. Dan itu juga mengikis nilai riil aset mereka karena mereka cenderung tidak mampu melindungi tabungan mereka dari inflasi,” tukasnya.
Di sisi lain, sambung dia, stagflasi ini sangat rawan krisis. Berkaca pada tahun 1970-an, dibutuhkan dua kali lipat suku bunga global menjadi 14% selama enam tahun untuk mengembalikan inflasi ke dalam target.
“Kenaikan sembilan poin persentase dalam tingkat kebijakan moneter AS dalam dua tahun. Itu, ya, memang mengakhiri inflasi, tetapi juga memicu resesi global pada tahun 1982 ketika pendapatan per kapita global turun satu persen. Dan itu kemudian memicu rangkaian krisis utang,” tuturnya.
Tak Ada Formula Pasti untuk Obati Stagflasi
Tidak ada obat yang pasti untuk mengatasi stagflasi. Meski begitu, meningkatkan kegiatan ekonomi menjadi salah satu solusi.
Inflasi tinggi mungkin bisa diobati tapi juga berisiko memicu efek samping lain. Biasanya bank sentral di suatu negara akan mengambil langkah menaikkan suku bunga secara agresif untuk melawan tingginya inflasi. Namun, kebijakan ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, jika suku bunga diturunkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, inflasi akan semakin memburuk. Jadi, seperti makan buah simalakama.
“Obat untuk inflasi tinggi, yang persis seperti yang dilakukan pemerintah sekarang, pengetatan kebijakan dan bank sentral, obat untuk inflasi tinggi menyebabkan efek samping yaitu pertumbuhan yang rendah,” kata Franziska.
Menurut dia, dibutuhkan reformasi struktural, reformasi peningkatan pertumbuhan, dan ini cenderung sangat spesifik untuk setiap negara negara.
“Sementara, inflasi yang tinggi berarti pada saat yang sama mengikis nilai riil, daya beli terutama rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mengandalkan upah dari pendapatan rumah tangga mereka. Dan itu juga mengikis nilai riil aset mereka karena mereka cenderung tidak mampu melindungi tabungan mereka dari inflasi,” tukasnya.
Di sisi lain, sambung dia, stagflasi ini sangat rawan krisis. Berkaca pada tahun 1970-an, dibutuhkan dua kali lipat suku bunga global menjadi 14% selama enam tahun untuk mengembalikan inflasi ke dalam target.
“Kenaikan sembilan poin persentase dalam tingkat kebijakan moneter AS dalam dua tahun. Itu, ya, memang mengakhiri inflasi, tetapi juga memicu resesi global pada tahun 1982 ketika pendapatan per kapita global turun satu persen. Dan itu kemudian memicu rangkaian krisis utang,” tuturnya.
Tak Ada Formula Pasti untuk Obati Stagflasi
Tidak ada obat yang pasti untuk mengatasi stagflasi. Meski begitu, meningkatkan kegiatan ekonomi menjadi salah satu solusi.
Inflasi tinggi mungkin bisa diobati tapi juga berisiko memicu efek samping lain. Biasanya bank sentral di suatu negara akan mengambil langkah menaikkan suku bunga secara agresif untuk melawan tingginya inflasi. Namun, kebijakan ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, jika suku bunga diturunkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, inflasi akan semakin memburuk. Jadi, seperti makan buah simalakama.
“Obat untuk inflasi tinggi, yang persis seperti yang dilakukan pemerintah sekarang, pengetatan kebijakan dan bank sentral, obat untuk inflasi tinggi menyebabkan efek samping yaitu pertumbuhan yang rendah,” kata Franziska.
Menurut dia, dibutuhkan reformasi struktural, reformasi peningkatan pertumbuhan, dan ini cenderung sangat spesifik untuk setiap negara negara.