Regulasi HPTL dan Rokok Harus Terpisah Agar Menarik Investor
Senin, 20 September 2021 - 20:46 WIB
JAKARTA - Pemerintah bersama pelaku industri, akademisi dan konsumen sedang merumuskan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk e-liquid setelah menyelesaikan standardisasi untuk produk tembakau yang dipanaskan pada awal 2021 lalu. Hal ini dikonfirmasi oleh Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin, Edy Sutopo.
“Penyusunan SNI itu dilakukan oleh Komite Teknis yang ditunjuk oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional). Anggota Komtek itu terdiri dari berbagai unsur yang mewakili produsen, konsumen, pemerintah dan pakar serta praktisi,” jelas Edy saat dihubungi wartawan, Senin (20/9/2021).
Meskipun standardisasi untuk sebagian hasil produk tembakau lainnya (HPTL) sudah dirumuskan, langkah tersebut dirasa belum cukup untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh HPTL. Chief Executive Officer (CEO) NCIG Indonesia, Roy Lefrans menerangkan, perlu ada regulasi HPTL yang proporsional, yang dapat mendorong industri tersebut untuk berkembang.
" Vape punya pasar yang sangat potensial untuk bertumbuh karena produknya yang jauh lebih rendah risiko dari rokok. Namun, perlu regulasi yang tepat agar memberikan kesempatan bagi investor luar negeri untuk semakin yakin melakukan investasinya ke sektor HPTL Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengatur terpisah regulasi HPTL dari regulasi rokok," ungkap Roy.
Salah satu aspek regulasi yang menjadi sorotan Roy adalah, penetapan cukai untuk produk vape, di mana produk untuk kategori close system (sistem tertutup) dinilai terlampau tinggi. Dalam peraturan kementerian keuangan No. 198/PMK.010/2020. Cukai untuk sistem tertutup 11 kali lipat lebih tinggi dibanding cukai open system (system terbuka).
Roy menambahkan, bahwa ketika cukai produk vape closed system dirumuskan, belum ada produsen vape closed system yang masuk di Indonesia. Sehingga produsen tidak punya kesempatan untuk ikut memberikan paparan di dalam rumusan tersebut.
Padahal, vape sistem tertutup memiliki potensi domestik yang bertumbuh dan juga membuka kesempatan produksi untuk ekspor, karena produk tersebut sudah mulai diadopsi oleh negara maju, seperti New Zealand dan US sebagai produk alternatif tembakau.
“Jika dibandingkan dengan profil risiko yang jauh lebih rendah dari rokok, tentunya belum tepat jika vape diberikan cukai tertinggi 57% dengan sistem ad valorem. Oleh karena itu, kita berharap agar cukai untuk closed system mulai diatur spesifik per cartridge dengan besaran cukai yang lebih memungkinkan kita untuk punya ruang gerak untuk bertumbuh,” tambah Roy.
“Penyusunan SNI itu dilakukan oleh Komite Teknis yang ditunjuk oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional). Anggota Komtek itu terdiri dari berbagai unsur yang mewakili produsen, konsumen, pemerintah dan pakar serta praktisi,” jelas Edy saat dihubungi wartawan, Senin (20/9/2021).
Meskipun standardisasi untuk sebagian hasil produk tembakau lainnya (HPTL) sudah dirumuskan, langkah tersebut dirasa belum cukup untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki oleh HPTL. Chief Executive Officer (CEO) NCIG Indonesia, Roy Lefrans menerangkan, perlu ada regulasi HPTL yang proporsional, yang dapat mendorong industri tersebut untuk berkembang.
" Vape punya pasar yang sangat potensial untuk bertumbuh karena produknya yang jauh lebih rendah risiko dari rokok. Namun, perlu regulasi yang tepat agar memberikan kesempatan bagi investor luar negeri untuk semakin yakin melakukan investasinya ke sektor HPTL Indonesia. Salah satunya adalah dengan mengatur terpisah regulasi HPTL dari regulasi rokok," ungkap Roy.
Salah satu aspek regulasi yang menjadi sorotan Roy adalah, penetapan cukai untuk produk vape, di mana produk untuk kategori close system (sistem tertutup) dinilai terlampau tinggi. Dalam peraturan kementerian keuangan No. 198/PMK.010/2020. Cukai untuk sistem tertutup 11 kali lipat lebih tinggi dibanding cukai open system (system terbuka).
Roy menambahkan, bahwa ketika cukai produk vape closed system dirumuskan, belum ada produsen vape closed system yang masuk di Indonesia. Sehingga produsen tidak punya kesempatan untuk ikut memberikan paparan di dalam rumusan tersebut.
Padahal, vape sistem tertutup memiliki potensi domestik yang bertumbuh dan juga membuka kesempatan produksi untuk ekspor, karena produk tersebut sudah mulai diadopsi oleh negara maju, seperti New Zealand dan US sebagai produk alternatif tembakau.
“Jika dibandingkan dengan profil risiko yang jauh lebih rendah dari rokok, tentunya belum tepat jika vape diberikan cukai tertinggi 57% dengan sistem ad valorem. Oleh karena itu, kita berharap agar cukai untuk closed system mulai diatur spesifik per cartridge dengan besaran cukai yang lebih memungkinkan kita untuk punya ruang gerak untuk bertumbuh,” tambah Roy.
(akr)
tulis komentar anda