Industry Megashifts 2021 (3)

Sabtu, 14 November 2020 - 07:41 WIB
loading...
Industry Megashifts 2021 (3)
Managing Partner Inventure Yuswohady
A A A
Yuswohady
Managing Partner Inventure

Di tahun 2021 kita akan menghadapi perubahan peta industri besar, barangkali terbesar dalam sejarah peradaban umat manusia. Covid-19 telah meluluh-lantakkan sendi-sendi perekonomian, industri, dan bisnis yang memaksa kita memasuki dunia yang sama sekali baru: a whole new world.

Di tahun 2021 kita akan menghadapi pergeseran industri maha dahsyat dan ekstrem, karena itu saya menyebutnya: industry megashifts. Bagaimana peta pergeserannya? (Baca: Hikmah Menatap Langit Ibadah Sunnah yanng Terlupakan)

Secara sederhana saya kelompokkan ke dalam tiga bagian besar, yaitu pergeseran di tingkat mega (changes), macro (competition), dan micro (customer). Minggu lalu saya sudah menguraikan pergeseran industri yang pertama, yaitu di level mega dan macro. Kali ini saya akan menguraikan level yang terakhir, yaitu micro.

I. Macro: The 7 New Rules of The Game

Pergeseran di tingkat mikro mencakup perubahan-perubahan besar yang menghasilkan perubahan perilaku konsumen di next normal. Ada empat perubahan besar di sisi konsumen ini. Pertama, munculnya gaya hidup baru stay @ home lifestyle. Kedua, fenomena back to the bottom of pyramid di mana kebutuhan konsumen kembali ke kebutuhan dasar. Ketiga, go virtual. Dan terakhir (keempat), munculnya apa yang saya sebut empathic society.

#1. Stay @ Home Lifestyle

Penyebaran virus korona yang masih terus melonjak selama sembilan bulan terakhir menciptakan gaya hidup baru yang kami sebut: Stay @ Home Lifestyle.

Gaya hidup baru ini terbentuk karena di era pandemi semua aktivitas masyarakat terpaksa harus dilakukan di rumah. Mulai dari bekerja, berbelanja, belajar, menikmati hiburan, berobat, bahkan hingga beribadah. Survei dari Kantar, hampir 80% masyarakat Indonesia menghabiskan waktu di rumah selama masa karantina.

Dengan tak menentunya kapan krisis pandemi ini berakhir, gaya hidup baru ini akan semakin permanen, bahkan termasuk setelah vaksin diproduksi dan didistribusikan. Contohnya untuk belanja online, WFH, home entertainment hingga sekolah online. (Baca juga: Ini Manfaat Mengonsum Dua Pisang Dalam Sehari)

Stay @ Home Lifestyle akan memicu terciptanya apa yang kami sebut Stay @ Home Economy di mana begitu banyak industri yang berguguran (high-touch industries), tetapi di sisi lain tak sedikit industri yang justru menikmati pertumbuhan dahsyat (low-touch industries).

Krisis Covid-19 membawa manusia seperti kembali ke zaman purba di mana hidupnya hanya di “gua”, yaitu rumah mereka. Welcome stay @ home economy.

#2. Back to the Bottom of the Pyramid

Kami di Inventure menyebut masa sebelum Maret 2020 saat WHO menetapkan Covid-19 sebagai bencana pandemi sebagai era leisure economy di mana kebutuhan konsumen bergerak cepat menuju puncak piramida Maslow, yaitu self esteem dan self actualization.

Pasca-Maret 2020, secara mendadak umat manusia dipaksa memasuki era pandemic economy di mana kebutuhan konsumen berbalik arah dari awalnya go to the top, menaiki piramida Maslow menjadi back to the bottom menuju dasar piramida.

Dengan merebaknya virus, kebutuhan-kebutuhan self esteem dan self actualization menjadi tidak prioritas lagi. Konsumen kembali ke kebutuhan dasar, yaitu safety (health), security (free of fear, employment), dan physiological needs (food, cloth, shelter). (Baca juga: Kriminolog: Hoaks Masuk Kategori Kejahatan karena Menimbulkan Dampak Buruk)

Consumer Megashifts ini menghasilkan preferensi konsumen yang menuntut marketers melakukan perubahan value proposition yang mendasar.

#3. Go Virtual

Di tengah pandemi industri-industri yang by-default bersifat high-touch seperti pariwisata, MICE, bisnis pertunjukkan hingga sport berguguran.

Di tengah berbagai aktivitas di industri-industri ini tidak bisa dilakukan secara fisik, medium digital menjadi solusi sementara, yang tak tertutup kemungkinan akan menjadi solusi selamanya.

Maka tak terhindarkan lagi konsumen beramai-ramai go virtual, beralih dari medium space ke medium screen. Maka di masa pandemi istilah virtual kian populer: virtual meeting, virtual concert, virtual exhibition, virtual prayer.

Menariknya, aktivitas virtual ini kian lama memiliki value bagi konsumen. Survei dari Nielsen misalnya menunjukkan bahwa konsumen rela membayar tiket untuk menyaksikan konser secara personal. (Baca juga: Gelombang PHK Tak Terbendung, Pengangguran di Bekasi Melonjak)

#4. The Birth of Empathic Society

Krisis Covid-19 merupakan bencana kemanusiaan yang paling dahsyat abad ini dengan korban nyawa manusia yang begitu besar. Umat manusia di seluruh dunia terketuk hatinya menyaksikan ratusan ribu korban meninggal di seluruh dunia. Begitu banyak orang yang cemas, takut, dan mengalami kesulitan hidup.

Hikmahnya, Covid-19 telah menciptakan solidaritas dan kesetiakawanan sosial. Covid-19 melahirkan rasa senasib dan sepenanggungan yang melahirkan tujuan bersama (common goal) untuk melawannya. Tak mengherankan jika rasa empati dan kepedulian berbagai pihak terhadap nasib sesama tumbuh luas di Tanah Air dan di seluruh dunia.

Berbagai gerakan kepedulian dan aksi solidaritas dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat secara genuine untuk mengurangi penderitaan orang-orang yang terdampak. Rasa simpati yang luar biasa diberikan kepada para tenaga kesehatan yang telah berjuang menyelamatkan para korban dengan risiko nyawa. (Lihat videonya: Berkunjung ke Aceh Jangan Lupa Menikmati Kopi Gayo)

Covid-19 telah menciptakan masyarakat baru yang empatik, penuh cinta, dan welas asih terhadap sesamanya. Sesuatu yang langka ketika wabah belum mendera.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4236 seconds (0.1#10.140)