KPPU Bakal Soroti Pengalihan Frekuensi Konsolidasi Operator Telekomunikasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai bisa menyoroti pengalihan frekuensi dalam konsolidasi operator telekomunikasi . Pasalnya pengalihan frekuensi bisa menimbulkan persaingan tidak sehat.
Seperti diketahui, salah satu isu dalam merger Indosat dan Tri adalah soal efisiensi pengalihan spektrum frekuensi. Bila merger dilakukan tanpa harus mengembalikan frekuensi, maka dikhawatirkan ada potensi penguasaan spektrum frekuensi yang sangat besar hingga menyamai atau paling tidak mendekati Telkomsel. Sedangkan jumlah pengguna gabungan ISAT-Tri hanya 96 juta, atau 56% dari pengguna Telkomsel yang mencapai 170 juta.
Dengan frekuensi yang demikian besar dan jumlah pengguna yang hanya setengah dari Telkomsel, dikhawatirkan akan menggangu persaingan yang fair. Selain itu pengalihan frekuensi dalam merger ISAT-Tri dinilai kurang efektif untuk menciptakan efisiensi biaya. Bahkan justru menjadi pemborosan dan biaya tinggi sehingga merugikan konsumen.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur S Saragih menegaskan, terdapat beberapa penilaian dalam notifikasi yang akan diperhitungkan pihaknya. Notifikasi atau pemberitahuan tertulis kepada KPPU sifatnya wajib dilakukan pelaku usaha yang melakukan merger.
"Beberapa di antara penilaian adalah faktor konsentrasi pasar dan konsentrasi sumberdaya," ujar Guntur saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, baru-baru ini.
KPPU juga selalu mengimbau kepada pelaku usaha sebelum melakukan merger atau kerja sama dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu. Sehingga ini akan bersifat pre evaluation bukan post-evaluation."Terkait dalam industri telekomunikasi, sumberdaya strategisnya adalah frekuensi. Jadi itu akan masuk hal-hal yang dinilai dalam notifikasi," katanya.
Sementara Ketua KPPU Kodrat Wibowo menambahkan, penguasaan frekuensi dapat menjadi bahan perhitungan atau pertimbanan untuk mengkaji apakah telah terjadi persaingan usaha tidak sehat di sektor telekomunikasi.
"Jadi pertimbangannya tidak semata-mata jumlah pelanggan lagi dalam perhitungan penguasaan pasar. Penguasaan frekuensi yang kini dapat dianggap sebagai aset sebuah perusahaan juga dapat menjadi dasar perhitungan," kata Kodrat.
Dia mencontohkan penguasaan frekuensi itu seperti perusahaan perkebunan yang menguasai aset tanah. Tanah itu sendiri merupakan aset yang tetap dimiliki negara tapi dikuasakan oleh korporasi, dalam hal ini perusahaan perkebunan. Bila perusahaan perkebunan itu merger atau bergabung maka luasan kebun yang dikuasai menjadi dasar perhitungan aset.
"Jadi frekuensi itu sekarang dianggap sebagai aset, sama seperti tanah di perusahaan perkebunan. Bila ada penggabungan berarti penguasaan aset secara total menjadi bertambah," katanya.
Sebelumnya, Analis Kebijakan Ahli Madya Kemenkominfo Adis Alifiawan mengatakan rencana pengalihan itu tetap harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika, sebagai regulator.
"Jadi tidak dilepas begitu saja. Karena antara dua perusahaan ada kecocokan, mereka langsung bisa membuat kesepakatan untuk melakukan pengalihan? Tidak seperti itu. Mereka harus minta persetujuan pemerintah," jelasnya.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi juga pernah menyatakan aturan itu membuat pemerintah memiliki kontrol penuh atas frekuensi. "Karena masih ada evaluasi maka tidak sembarangan pengalihan frekuensi bisa dilakukan dan juga kerja sama pengguna frekuensi diimplementasikan," ujar Heru.
Evaluasi harus dilakukan dengan parameter yang jelas, termasuk persaingan usaha yang sehat. "KPPU bisa terlibat dan dilibatkan dalam hal ini," pungkas Heru.
Seperti diketahui, salah satu isu dalam merger Indosat dan Tri adalah soal efisiensi pengalihan spektrum frekuensi. Bila merger dilakukan tanpa harus mengembalikan frekuensi, maka dikhawatirkan ada potensi penguasaan spektrum frekuensi yang sangat besar hingga menyamai atau paling tidak mendekati Telkomsel. Sedangkan jumlah pengguna gabungan ISAT-Tri hanya 96 juta, atau 56% dari pengguna Telkomsel yang mencapai 170 juta.
Dengan frekuensi yang demikian besar dan jumlah pengguna yang hanya setengah dari Telkomsel, dikhawatirkan akan menggangu persaingan yang fair. Selain itu pengalihan frekuensi dalam merger ISAT-Tri dinilai kurang efektif untuk menciptakan efisiensi biaya. Bahkan justru menjadi pemborosan dan biaya tinggi sehingga merugikan konsumen.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur S Saragih menegaskan, terdapat beberapa penilaian dalam notifikasi yang akan diperhitungkan pihaknya. Notifikasi atau pemberitahuan tertulis kepada KPPU sifatnya wajib dilakukan pelaku usaha yang melakukan merger.
"Beberapa di antara penilaian adalah faktor konsentrasi pasar dan konsentrasi sumberdaya," ujar Guntur saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, baru-baru ini.
KPPU juga selalu mengimbau kepada pelaku usaha sebelum melakukan merger atau kerja sama dapat melakukan konsultasi terlebih dahulu. Sehingga ini akan bersifat pre evaluation bukan post-evaluation."Terkait dalam industri telekomunikasi, sumberdaya strategisnya adalah frekuensi. Jadi itu akan masuk hal-hal yang dinilai dalam notifikasi," katanya.
Sementara Ketua KPPU Kodrat Wibowo menambahkan, penguasaan frekuensi dapat menjadi bahan perhitungan atau pertimbanan untuk mengkaji apakah telah terjadi persaingan usaha tidak sehat di sektor telekomunikasi.
"Jadi pertimbangannya tidak semata-mata jumlah pelanggan lagi dalam perhitungan penguasaan pasar. Penguasaan frekuensi yang kini dapat dianggap sebagai aset sebuah perusahaan juga dapat menjadi dasar perhitungan," kata Kodrat.
Dia mencontohkan penguasaan frekuensi itu seperti perusahaan perkebunan yang menguasai aset tanah. Tanah itu sendiri merupakan aset yang tetap dimiliki negara tapi dikuasakan oleh korporasi, dalam hal ini perusahaan perkebunan. Bila perusahaan perkebunan itu merger atau bergabung maka luasan kebun yang dikuasai menjadi dasar perhitungan aset.
"Jadi frekuensi itu sekarang dianggap sebagai aset, sama seperti tanah di perusahaan perkebunan. Bila ada penggabungan berarti penguasaan aset secara total menjadi bertambah," katanya.
Sebelumnya, Analis Kebijakan Ahli Madya Kemenkominfo Adis Alifiawan mengatakan rencana pengalihan itu tetap harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah, dalam hal ini Menteri Komunikasi dan Informatika, sebagai regulator.
"Jadi tidak dilepas begitu saja. Karena antara dua perusahaan ada kecocokan, mereka langsung bisa membuat kesepakatan untuk melakukan pengalihan? Tidak seperti itu. Mereka harus minta persetujuan pemerintah," jelasnya.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi juga pernah menyatakan aturan itu membuat pemerintah memiliki kontrol penuh atas frekuensi. "Karena masih ada evaluasi maka tidak sembarangan pengalihan frekuensi bisa dilakukan dan juga kerja sama pengguna frekuensi diimplementasikan," ujar Heru.
Evaluasi harus dilakukan dengan parameter yang jelas, termasuk persaingan usaha yang sehat. "KPPU bisa terlibat dan dilibatkan dalam hal ini," pungkas Heru.
(fai)