Krisis Komunikasi Bisa Berdampak pada Reputasi Perusahaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Praktisi public relations (PR) dituntut untuk mampu mengetahui dan mengantisipasi terhadap datangnya potensi krisis komunikasi. Dalam upaya membangun image (citra) dan reputasi pascakrisis komunikasi diperlukan juga kemampuan berkomunikasi dua arah (two ways communications). Di sisi lain, media memainkan peran penting untuk dapat membawa krisis menemukan jalan keluar.
Hal tersebut menjadi benang merah dari diskusi bedah buku Public Relations (PR) Crisis yang digelar Universitas Kristen Petra Surabaya, Rabu (8/9/2021). Sebagai pembicara utama dari kegiatan ini adalah tiga penulis buku PR Crisis, yakni Dr Firsan Nova, Dian Agustine Nuriman, dan Mohammad Akbar. Sebagai moderator dari acara tersebut adalah dosen Petra, Amelia Sidik, PhD.
(Baca juga:Tren dan Solusi Masa Depan Public Relations (Catatan Akhir Tahun)
“Krisis itu terjadi dalam situasi apa saja yang bisa berdampak pada reputasi dan keuangan atau business sustainability. Kita tidak bisa melihat dari size krisisnya, tapi dari impactnya. Crisis is not about the size, but crisis is about the impact,” kata Firsan yang juga menjabat CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication.
Untuk dapat mengantisipasi dampak tersebut, Firsan mengatakan, seorang praktisi PR harus mampu membekali pengetahuannya terhadap hal-hal yang bisa menyebabkan krisis terjadi. “Hal ini bisa kita ketahui dari memahami critical point dan stakeholder yang kita miliki agar terhindar dari krisis,” ujarnya.
(Baca juga:30 BUMN dan 68 BUMD Dinilai Mumpuni dalam Digital Public Relations)
Dian Agustine juga mengatakan pentingnya membangun image positif dan reputasi usai menghadapi krisis di dalam perusahaan. Ia menambahkan bahwa dalam pembentukan citra positif itu banyak, bukan hanya secara fisik tapi dapat dilakukan melalui banyak faktor. Ia juga menyebutkan pentingnya membangun komunikasi yang tidak berjalan satu arah.
“Kalau kita bicara tentang digital, misalnya social media, itu tidak bicara one way communication tapi harus two ways communications. Jadi harus interaktif antara brand dan followers harus diciptakan komunikasi,” kata Dian yang menjadi founder dari NAGARU Communication.
(Baca juga:40 Insan Public Relations Mendapatkan Pengakuan dari Iconomics)
Akbar menambahkan media itu memiliki peran penting dalam membingkai dan membentuk opini publik untuk merespons krisis komunikasi yang sedang terjadi. “Kehadiran media itu mampu membingkai suatu kejadian melalui narasi maupun gambar yang disajikan secara terkonsep,” ujar pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini.
Akbar juga menyitir sosok pejuang kemanusian Malcom X yang menegaskan pentingnya media dalam membentuk opini publik. “Media itu bisa membuat kita semua benci dengan orang yang tertindas dan bisa mencintai orang yang menindas,” katanya.
Sementara itu Desi Yoanita sebagai perwakilan Dekan Universitas Kristen Petra Surabaya mengatakan kemampuan menghadapi krisis itu sangat diperlukan bagi para praktisi PR, khususnya kepada para mahasiswa.
(Baca juga:Buku Crisis Public Relations, Mengatasi Krisis Reputasi dengan Pendekatan Populer)
Ia menyebut buku Public Relations (PR) Crisis ini menjadi rujukan berharga kepada para mahasiswa maupun akademisi untuk mempelajari lebih dalam mengenai krisis sekaligus mengimplementasikannya.
“Saat ini sedang masanya krisis, sangat penting buat temen-temen khususnya di program strategic communications untuk belajar bagaimana seorang PR itu tidak larut di dalam krisis, tetapi bagaimana mereka siap menghadapi krisis ini dengan bijak dan cermat,” tuturnya.
Kegiatan bedah buku PR Crisis yang digagas oleh Nexus ini bukanlah kali pertama di level universitas. Selain Universitas Kristen Petra Surabaya, kegiatan bedah buku ini sudah singgah juga ke Unviersitas Budi Luhur Jakarta, dan Universitas Telkom Bandung.
Hal tersebut menjadi benang merah dari diskusi bedah buku Public Relations (PR) Crisis yang digelar Universitas Kristen Petra Surabaya, Rabu (8/9/2021). Sebagai pembicara utama dari kegiatan ini adalah tiga penulis buku PR Crisis, yakni Dr Firsan Nova, Dian Agustine Nuriman, dan Mohammad Akbar. Sebagai moderator dari acara tersebut adalah dosen Petra, Amelia Sidik, PhD.
(Baca juga:Tren dan Solusi Masa Depan Public Relations (Catatan Akhir Tahun)
“Krisis itu terjadi dalam situasi apa saja yang bisa berdampak pada reputasi dan keuangan atau business sustainability. Kita tidak bisa melihat dari size krisisnya, tapi dari impactnya. Crisis is not about the size, but crisis is about the impact,” kata Firsan yang juga menjabat CEO Nexus Risk Mitigation and Strategic Communication.
Untuk dapat mengantisipasi dampak tersebut, Firsan mengatakan, seorang praktisi PR harus mampu membekali pengetahuannya terhadap hal-hal yang bisa menyebabkan krisis terjadi. “Hal ini bisa kita ketahui dari memahami critical point dan stakeholder yang kita miliki agar terhindar dari krisis,” ujarnya.
(Baca juga:30 BUMN dan 68 BUMD Dinilai Mumpuni dalam Digital Public Relations)
Dian Agustine juga mengatakan pentingnya membangun image positif dan reputasi usai menghadapi krisis di dalam perusahaan. Ia menambahkan bahwa dalam pembentukan citra positif itu banyak, bukan hanya secara fisik tapi dapat dilakukan melalui banyak faktor. Ia juga menyebutkan pentingnya membangun komunikasi yang tidak berjalan satu arah.
“Kalau kita bicara tentang digital, misalnya social media, itu tidak bicara one way communication tapi harus two ways communications. Jadi harus interaktif antara brand dan followers harus diciptakan komunikasi,” kata Dian yang menjadi founder dari NAGARU Communication.
(Baca juga:40 Insan Public Relations Mendapatkan Pengakuan dari Iconomics)
Akbar menambahkan media itu memiliki peran penting dalam membingkai dan membentuk opini publik untuk merespons krisis komunikasi yang sedang terjadi. “Kehadiran media itu mampu membingkai suatu kejadian melalui narasi maupun gambar yang disajikan secara terkonsep,” ujar pria yang berprofesi sebagai jurnalis ini.
Akbar juga menyitir sosok pejuang kemanusian Malcom X yang menegaskan pentingnya media dalam membentuk opini publik. “Media itu bisa membuat kita semua benci dengan orang yang tertindas dan bisa mencintai orang yang menindas,” katanya.
Sementara itu Desi Yoanita sebagai perwakilan Dekan Universitas Kristen Petra Surabaya mengatakan kemampuan menghadapi krisis itu sangat diperlukan bagi para praktisi PR, khususnya kepada para mahasiswa.
(Baca juga:Buku Crisis Public Relations, Mengatasi Krisis Reputasi dengan Pendekatan Populer)
Ia menyebut buku Public Relations (PR) Crisis ini menjadi rujukan berharga kepada para mahasiswa maupun akademisi untuk mempelajari lebih dalam mengenai krisis sekaligus mengimplementasikannya.
“Saat ini sedang masanya krisis, sangat penting buat temen-temen khususnya di program strategic communications untuk belajar bagaimana seorang PR itu tidak larut di dalam krisis, tetapi bagaimana mereka siap menghadapi krisis ini dengan bijak dan cermat,” tuturnya.
Kegiatan bedah buku PR Crisis yang digagas oleh Nexus ini bukanlah kali pertama di level universitas. Selain Universitas Kristen Petra Surabaya, kegiatan bedah buku ini sudah singgah juga ke Unviersitas Budi Luhur Jakarta, dan Universitas Telkom Bandung.
(dar)