Over Exploited, Aturan Ekspor Lobster Belum Didasarkan Hasil Kajian

Rabu, 17 Juni 2020 - 10:55 WIB
loading...
Over Exploited, Aturan Ekspor Lobster Belum Didasarkan Hasil Kajian
Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/2020 (Permen KP 12/2020) yang mengatur tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan belum didasarkan pada hasil kajian yang ada.

Pengamat sektor perikanan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai pembukaan keran ekspor untuk benih lobster tangkap sama saja mengabaikan status lobster yang sudah over exploited di 11 wilayah perikanan Indonesia.

Di sisi lain, budi daya lobster, khususnya pembenihan dan pembesaran di dalam negeri, tengah giat-giatnya dilakukan masyarakat di banyak sentra budidaya lobster. Mulai dari Lombok, Sumatera, Jawa Barat, sampai Aceh. “Di tengah menggeliatnya usaha budi daya dalam negeri, justru diabaikan,” ujar Halim, di Jakarta, kemarin.

Menurut Halim, Permen Nomor 12/ 2020 tidak didasarkan pada hasil kajian. Pasalnya, merujuk UU Perikanan, setiap kegiatan pengelolaan perikanan untuk jenis lobster harus didahului hasil kajian. Sampai kini, yang tersedia merupakan kajian dari Komisi Nasional Sumber Daya Ikan terakhir dilakukan pada 2017. Artinya, kajian tersebut dilakukan oleh menteri kelautan dan perikanan sebelumnya, yang justru melarang ekspor benih lobster. “Menteri Kelautan saat ini membolehkan ekspor benih lobster tapi tidak punya dasar. Ini bagaimana, status kajiannya merah dan kuning kok bisa diekspor,” gugatnya. (Baca: Dianggap Merugikan Nelayan, Ekspor Lobster Perlu Dikaji Mendalam)

Sebaliknya, Koordinator Penasihat Menteri KKP Rokhmin Dahuri justru berpendapat, kebijakan ekspor benih lobster ini merupakan kebijakan yang tepat dari sisi ekonomi dan ekologi.

Dia menuturkan, saat KKP dipimpin Susi Pudjiastuti, semua penangkapan benih lobster dilarang—untuk budi daya sendiri sekalipun, apalagi ekspor. Padahal, survival rate (kemampuan hidup benih lobster hingga dewasa) budi daya lobster di Indonesia hanya 30%. Jauh dibandingkan dengan survival rate Vietnam yang mencapai 70-80%. Jika di alam liar, lobster yang mampu hidup sampai dewasa hanya 0,01% dari total jumlah benih.

“Jadi ekspor secara terbatas ini sudah benar, apalagi banyak orang terdampak Covid-19. Jika benih dibeli sekitar Rp10.000 per ekor, akan ada perputaran sekitar Rp3,6 triliun di NTB, NTT, selatan Jawa, Nias, dan lainnya,” tutur Rokhmin. (Lihat videonya: Wisata Kebun Teh Puncak Bogor Mulai Dipenuhi Pengunjung)

Meski aturan ekspor lobster masih menimbulkan kontroversi, pada akhir pekan lalu ada dua perusahaan yang sudah melakukan ekspor lobster ke Vietnam. Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Direktorat Jenderal Bea Cukai Deni Surjantoro membenarkan, Jumat (12/6/2020), ada dua perusahaan, yakni PT ASSR dan PT TAM, yang mengekspor benih lobster ke Vietnam. Dia merinci, PT ASR mengirimkan live lobster fry kurang lebih 7 koli atau sekitar 37.500 ekor. PT TAM mengirim juga live lobster fry kurang lebih 7 koli dengan 60.000 ekor benih hidup.

Deni menjelaskan, barang kiriman tersebut masuk di dalam sistem DJBC, Jumat (12/6/2020) sekitar pukul 12.30. “Karena masuk dalam sistem, berarti persyaratan sudah ada di dalam sistem, yaitu sertifikat karantina ikan, termasuk di dalamnya kuitansi PNBP (pendapatan negara bukan pajak),” tuturnya. (Baca juga: Ekspor Benih Lobster Harusnya Tunggu Aturan Final PMK dan PNBP)

Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani mengakui KKP mengusulkan PNBP khusus untuk mempercepat ekspor lobster. “Tampaknya hal itu (PNBP khusus) ada diusulkan juga oleh KKP dan lagi kami koordinasikan bersama,” ujarnya.

Namun, Askolani belum bisa menjelaskan lebih rinci akan dimasukkan dalam pos apa PNBP khusus tersebut, mengingat revisi PP PNBP KKP saat ini masih dibahas. “Hal itu lagi direviu,” katanya. (Rakhmat Baihaqi)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.4224 seconds (0.1#10.140)