5 Negara yang Paling Bergantung pada Laut China Selatan

Senin, 21 November 2022 - 05:42 WIB
loading...
5 Negara yang Paling Bergantung pada Laut China Selatan
Laut China Selatan merupakan rute perdagangan penting yang menghubungkan arteri utama perdagangan di Asia Tenggara. Tetapi kepada siapa peran Laut China Selatan paling penting?. Foto/Dok Reuters
A A A
JAKARTA - Laut China Selatan merupakan rute perdagangan penting yang menghubungkan arteri utama perdagangan di Asia Tenggara . Jalur air ini menyambung dari Singapura dan Malaysia hingga ke Indonesia, Filipina dan Taiwan.



Dikombinasikan dengan kelimpahan cadangan hidrokarbon dan kehidupan laut -sumber utama protein hewani bagi populasi padat di kawasan ini- jalur laut ini menjadi sangat penting di luar batas-batasnya.

Menurut Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perdagangan dan Pembangunan, diperkirakan senilai USD3,37 triliun atau 21% dari semua perdagangan global, transit melalui Laut China Selatan pada tahun 2016.



Secara teritorial, ada tujuh negara penggugat di Laut China Selatan yakni China, Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.

Tetapi kepada siapa peran Laut China Selatan paling penting? Analis menyebutkan ada lima negara teratas, selain China yang paling bergantung pada Laut China Selatan.

1. Vietnam

Vietnam, rumah bagi 95,5 juta orang telah mencetak pertumbuhan ekonomi menjadi USD362,64 miliar pada tahun 2021, berdasarkan data Bank Dunia.

"Vietnam menempati lebih dari tiga ribu kilometer garis pantai di Laut Cina Selatan dan menempati jumlah fitur terbesar di Kepulauan Spratly," demikian menurut Senior Fellow Shangri-La Dialogue, Euan Graham untuk Keamanan Asia-Pasifik di International Institute for Strategic Studies.

"Apa yang membuatnya menarik adalah geografinya di Asia Tenggara, yang memungkinkan orientasi kontinental atau maritim dan menciptakan tekanan di kedua arah," kata pakar militer dan geopolitik itu.

"Pada level strategis, Vietnam menggandakan strategi maritimnya untuk menjadi ekonomi yang mengandalkan ekspor yang bergantung pada kebebasan navigasi untuk kemakmuran," sambungnya.

Graham mengatakan, ini kebalikan sejarah Vietnam yang pada satu abad terakhir fokus pada daratan dan bergantung pada sekutu kontinental — terutama Uni Soviet dan China. Konflik darat dengan China dan Kamboja pada saat itu jadi penghambat bagi Vietnam.

Vietnam yang berbagi perbatasan dengan China, telah diuntungkan dari masalah rantai pasokan di China yang diperburuk oleh kebijakan Zero-covid yang ketat dan dislokasi pasokan. "Peluangnya ada pada kemakmuran yang dibawa ekspor dan investasi asing," kata Graham.

"Organisasi sedang mengorientasikan kembali rantai pasokan keluar dari China, dan Korea Selatan sekarang banyak berinvestasi dalam produksi microchip di Vietnam. Ini semakin menguntungkan Vietnam dengan memberi negara lain saham dalam kelangsungan hidupnya," sambungnya.

2. Singapura

Sebagai penghubung laut utama untuk pasar di Eropa, Asia, dan Amerika, Selat Singapura sepanjang 105 kilometer dilewati sekitar 1.000 kapal setiap hari.

Sebagian besar menekankan pada sumber daya seperti minyak, gas, dan perikanan yang diperebutkan semua orang —tetapi "kebebasan laut yang membuat Singapura tetap hidup," ungkap Pakar kebijakan pertahanan Indo-Pasifik sipil, Blake Herzinger.

"Tanpa Laut China Selatan yang bebas di sisi lain Singapura, itu menjadi proposisi yang berbeda secara nilai dan kelangsungan hidup nasional mereka," ungkap rekan penulis “Carrier Killer, China’s Anti-ship Ballistic Missiles and Theater of Operations in the early 21st Century.”

Dengan populasi 5,64 juta, PDB Singapura mencapai USD337,5 miliar pada tahun 2020, menjadikannya mitra dagang barang terbesar ke-17 dengan AS, menurut Kantor Perwakilan Dagang A.S.

"Meskipun Singapura bukan penuntut fitur maritim Laut China Selatan manapun, mereka duduk di jalur komunikasi laut (sea lanes of communication – SLOCs) yang paling kritis – Selat Singapura, dan awal selat Malaka," ungkap Charlie A. Brown, pakar dan konsultan kesadaran ranah maritim regional.

Negara kecil di Asia Tenggara itu sangat bergantung pada perdagangan bebas yang melewati negara mereka dan perairan yang berdekatan dengannya.

"Kepemimpinan Singapura jelas bahwa mereka adalah negara yang secara eksistensial bergantung pada laut bebas dan tatanan berbasis aturan. Tanpa itu, tempat-tempat seperti Singapura berada dalam banyak masalah," paparnya.

3. Indonesia

Selat Sunda dan Lombok di Indonesia, bersama dengan Selat Malaka dan Singapura, adalah pintu gerbang utama ke Laut China Selatan. Kepulauan Natuna di Indonesia tumpang tindih dengan sembilan garis putus-putus China — serangkaian garis pada peta yang menyertai klaim teritorial China.

"Indonesia sangat bergantung pada sumber daya dari Laut Natuna Utara (di Laut China Selatan)," kata Brown seraya menambahkan bahwa transit lalu lintas komersial cukup signifikan di perairan itu.

"Meskipun Indonesia menyatakan tidak ada sengketa teritorial dengan China, itu adalah klaim retoris yang bertentangan dengan yang sebenarnya," tambahnya.

Herzinger menyoroti bahwa, seperti negara-negara penggugat lainnya, populasi Indonesia yang berjumlah 280 juta sangat bergantung pada ketahanan pangan dari ikan. Kerawanan pangan di Laut China Selatan dapat dengan cepat menjadi ketidakstabilan nasional di Asia Tenggara, kata Herzinger.

"Salah satu aspek yang kurang dihargai adalah semua larangan penangkapan ikan musiman oleh patroli China dan di Laut China Timur," katanya.

"Meskipun mereka mengklaim lebih dari setengah Laut China Selatan, China telah mendorong negara-negara penggugat seperti Vietnam keluar dari perairan penangkapan ikan tradisional dan lebih banyak lagi ke Laut China Selatan, menyebabkan penangkapan ikan yang berlebihan."

Brown menambahkan, bahwa hal itu terutama berlaku bagi nelayan Vietnam "yang pergi ke perairan Malaysia dan Indonesia, sebagian karena China mendorong mereka keluar dari perairan mereka sendiri."

Apa yang terjadi ketika stok ikan habis?

"Jika itu terjadi, negara-negara akan segera terlempar ke dalam kerawanan pangan," kata pakar kebijakan pertahanan itu.

"Dan ketika itu terjadi, Anda mendapatkan ketidakamanan pemerintah, di mana orang-orang yang kelaparan tidak akan mengejar China melainkan pemerintah pusat," jelasnya.

Ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu diperkirakan memiliki PDB hampir USD1,2 triliun pada tahun 2021, demikian menurut data Bank Dunia.

4. Jepang

Sekitar 42% perdagangan maritim Jepang melewati Laut China Selatan setiap tahunnya, menurut data Asosiasi Advokat Kebijakan Publik Terakreditasi untuk Uni Eropa. Pada tahun 2020, Jepang merupakan pembeli gas alam cair terbesar di dunia, dimana Ia mengimpor hampir 74,5 juta ton.

Brown berpendapat, bahwa karena impor minyak Jepang dari kawasan Teluk Persia, "mereka memiliki kepentingan lama dalam kerentanan jalur laut yang sudah ada jauh sebelum Perang Dunia II."

"Di zaman modern, kegiatan regional mereka mendukung peningkatan kapasitas pada isu-isu seperti keselamatan dan keamanan maritim, perlindungan sumber daya dan infrastruktur, serta kebebasan navigasi dengan negara-negara yang berbatasan dengan Laut China Selatan," sambung Brown.

Jepang juga telah mengirimkan sinyal kuat ke China.

Surat kabar terbesar Jepang, Yomiuri Shimbun melaporkan bahwa kapal perusak angkatan laut Jepang telah berulang kali berlayar melewati jalur perairan Laut China Selatan, selanjutnya di dekat pulau-pulau buatan dan terumbu karang yang diklaim oleh Beijing.

Seorang pejabat senior kementerian pertahanan yang tidak disebutkan namanya seperti dikutip oleh surat kabar itu mengatakan, bahwa patroli maritim itu "dimaksudkan untuk memperingatkan China, yang mendistorsi hukum internasional, untuk melindungi kebebasan navigasi dan hukum laut."

Operasi yang dilakukan Jepang berada di bawah Pasukan Bela Diri Maritim yang dimulai pada Maret tahun lalu, demikian ungkap Yomiuri Shimbun.

Pada 22 Juli, pemerintah Jepang merilis buku putih Pertahanan Jepang 2022 yang menuduh China berusaha mengubah status quo secara sepihak di Laut China Timur dan Selatan.

Kementerian Pertahanan Nasional China menanggapi dengan teguran keras, dan menuduh dokumen itu membuat "pernyataan yang tidak bertanggung jawab."

5. Korea Selatan

Korea Selatan "sengaja diam tentang Laut China Selatan" karena ingin "mempertahankan dukungan dengan China," ungkap Graham, mengutip fokus utama Seoul tertuju pada masalah Korea Utara.

"Secara geografis, dibandingkan dengan Jepang, mereka lebih sulit untuk mengalihkan perdagangan," katanya.

"Pengakuan sebagai negara perdagangan, dan untuk mengamankan jalur pasokan, termasuk investasinya ke Vietnam, Korea Selatan memiliki angkatan laut yang aktif."

Ekonomi terbesar keempat di Asia tersebut – diperkirakan mencapai sekitar USD1,8 triliun pada tahun 2021 – dimana secara ekonomi lebih bergantung pada impor energi daripada Jepang, demikian menurut Graham.

Sebagai konsumen energi terbesar ke-8 di dunia, Korea Selatan mengimpor hampir 92,8% dari konsumsi energi dan sumber daya alamnya, seperti diperlihatkan data pemerintah. Pada tahun 2021, Korea Selatan menghabiskan USD137,2 miliar untuk impor energi, setara dengan hampir 22,3% dari total impornya.

Menurut angka dari Administrasi Informasi Energi AS, Timur Tengah menyumbang 69% dari impor minyak mentah Korea Selatan 2019, turun dibandingkan lebih dari 80% sebelum 2018.

Ketika sebagian besar impor minyak mentah Korea Selatan transit melalui Laut China Selatan, kepentingan strategisnya saat ini bagi keamanan nasional tidak dapat diremehkan.

"Dengan peluncuran kapal induk China yang dirancang dan dibangun di dalam negeri pada Juni 2022, Fujian – dinamai sama dengan provinsi yang paling dekat dengan Taiwan – dominasi dan supremasi angkatan laut di Pasifik belum pernah ditantang seperti ini sejak Perang Dunia II," ungkap Brown.

"Konflik Eropa telah menimbulkan kekhawatiran tentang sistem perdagangan global," katanya.

"Peringatan tentang efek konflik di Laut China Selatan harus ditanggapi dengan serius. Kita semua harus mendengarkan seruan dari negara-negara seperti Singapura dan Korea Selatan untuk menghindarinya dan mengurangi ketegangan," jelasnya.

Semakin Pentingnya Laut Cina Selatan

Dari perspektif sejarah, Laut China Selatan adalah pusat Indo-Pasifik. Tetapi signifikansinya jauh melampaui wilayah tersebut.

Mengingat ketegangan diplomatik dan ekonomi global yang berkembang, kepentingan strategis Laut China Selatan diperkirakan akan terus meningkat.

Pada tahun 2021, Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengatakan, bahwa lebih dari 80% volume perdagangan internasional dibawa melalui laut, dengan 54% perdagangan maritim dunia terjadi di Asia.

Namun, ketidakpastian pandemi masih terbawa dalam bentuk gangguan rantai pasokan, perubahan pola globalisasi, biaya transportasi dan kemacetan di pelabuhan.

Secara keseluruhan, UNCTAD memperkirakan bahwa perdagangan maritim dunia pulih sebesar 4,3% pada tahun 2021. Ia juga memperkirakan, bahwa volume perdagangan dapat tumbuh pada tingkat tahunan 2,4% antara 2022 dan 2026.

(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1945 seconds (0.1#10.140)