Mengejar Penerimaan Negara Harus Dilakukan dengan Berkeadilan
loading...
A
A
A
Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan mengatakan, untuk meningkatkan penerimaan perpajakan tidak cukup hanya dengan adanya regulasi. Lebih dari itu, pemerintah harus mempu menegakkan aturan dengan konsisten serta perbaikan sistem pemungutan pajak.
“Harus ada perbaikan dalam sistem perpajakan. Dengan pelayanan yangn lebih cepat dan mudah akan membantu wajib pajak menunaikan kewajibannya membayar pajak,” kata Fadhil saat dihubungi kemarin.
Selain itu, kata dia, perbaikan sistem juga bisa dilakukan dengan cara digitalisasi guna menghindari adanya upaya manipulatif sehingga tidak ada main mata antara wajib pajak dan petugas.
“Kemudian juga aparat pajak harus punya integritas yang capable sehingga tidak mudah dirayu (oleh wajib pajak),” ucapnya.
Terkait UU HPP yang baru saja disahkan, Fadhil mengatakan bahwa hal itu bertujuan untuk mengedalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi 3% dari produk domestik bruto pada 2023.
“Jadi, ketika pada 2023 diprediksi kondisi sudah normal. Pemerintah akan lebih leluasa, tidak seperti sekarang ini,” katanya.
Terkait pajak 35% bagi yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar, menurut dia, dalam perpajakan prinsipnya adalah yang memiliki kemampuan besar maka harus membayar pajak besar. Hal itu untuk menerapkan sistem yang berkeadilan.
Agar wajib pajak tidak mangkir, kata dia, maka bergantung pada pelaksanaan di lapangan. Diakuinya, ketika wajib pajak memiliki nilai besar yang harus dibayarkan maka ada kecenderungan untuk melakukan upaya manipulatif. Akan tetapi, hal itu bisa dicegah dengan penegakan aturan yang tegas.
“Tergantung law enforcement. Jangan sampai terjadi upaya manipulatif, karena ada istilah semakin besar tingkat pajak semakin berupaya untuk membayar pajak dan ada oknum yang berupaya melakukan manipulatif,” ungkapnya.
Gunakan Jurus Lama Lewat Tax Amnesty II
Salah satu yang menjadi sorotan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pekan lalu oleh DPR adalah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II . Program yang digadang-gadang menjadi andalan untuk menarik penerimaan pajak tahun depan itu pun mendapat kritikan dari sejumlah kalangan karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan sebelumnya.
“Harus ada perbaikan dalam sistem perpajakan. Dengan pelayanan yangn lebih cepat dan mudah akan membantu wajib pajak menunaikan kewajibannya membayar pajak,” kata Fadhil saat dihubungi kemarin.
Selain itu, kata dia, perbaikan sistem juga bisa dilakukan dengan cara digitalisasi guna menghindari adanya upaya manipulatif sehingga tidak ada main mata antara wajib pajak dan petugas.
“Kemudian juga aparat pajak harus punya integritas yang capable sehingga tidak mudah dirayu (oleh wajib pajak),” ucapnya.
Terkait UU HPP yang baru saja disahkan, Fadhil mengatakan bahwa hal itu bertujuan untuk mengedalikan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi 3% dari produk domestik bruto pada 2023.
“Jadi, ketika pada 2023 diprediksi kondisi sudah normal. Pemerintah akan lebih leluasa, tidak seperti sekarang ini,” katanya.
Terkait pajak 35% bagi yang berpenghasilan di atas Rp5 miliar, menurut dia, dalam perpajakan prinsipnya adalah yang memiliki kemampuan besar maka harus membayar pajak besar. Hal itu untuk menerapkan sistem yang berkeadilan.
Agar wajib pajak tidak mangkir, kata dia, maka bergantung pada pelaksanaan di lapangan. Diakuinya, ketika wajib pajak memiliki nilai besar yang harus dibayarkan maka ada kecenderungan untuk melakukan upaya manipulatif. Akan tetapi, hal itu bisa dicegah dengan penegakan aturan yang tegas.
“Tergantung law enforcement. Jangan sampai terjadi upaya manipulatif, karena ada istilah semakin besar tingkat pajak semakin berupaya untuk membayar pajak dan ada oknum yang berupaya melakukan manipulatif,” ungkapnya.
Gunakan Jurus Lama Lewat Tax Amnesty II
Salah satu yang menjadi sorotan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pekan lalu oleh DPR adalah adanya program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II . Program yang digadang-gadang menjadi andalan untuk menarik penerimaan pajak tahun depan itu pun mendapat kritikan dari sejumlah kalangan karena dianggap tidak konsisten dengan kebijakan sebelumnya.