Mengejar Penerimaan Negara Harus Dilakukan dengan Berkeadilan
loading...
A
A
A
Pengamat ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal memandang, program tax amnesty jilid II yang tertuang dalam RUU HPP menujukkan bahwa beleid terbaru itu tidak sepenuhnya menggambarkan adanya reformasi perpajakan seperti yang diklaim pemerintah.
Dia menyebut, adanya program pengampunan pajak Jilid II yang dianggap bertolak belakang dengan semangat reformasi perpajakan. Menurutnya, program tersebut akan membuat pemerintah seakan tidak konisten dengan pernyataannya pada 2016, di mana dinyatakan pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali saja.
"Sebaiknya pemerintah konsisten dalam hal ini pengampunan pajak dan tidak perlu khawatir kalau kehilangan momentum kalau tidak mengecek wajib pajak yang lalai," lanjutnya.
‎Di sisi lain, adanya kebijakan pengampunan pajak jilid II yang akan dimulai pada 1 Januari 2022 itu dinilai akan berdampak negatif pada ekonomi nasional. Bahkan, kepercayaan pembayaran pajak bisa turun karena adanya tax amnesty.
Pasalnya, program tersebut justru menggangu psikologi pembayar pajak yang lebih memilih untuk menunggu tax amnesty jilid berikutnya.
"Mereka berpikir buat apa patuh pajak, pasti ada tax amensty berikutnya. Tentunya ini blunder ke penerimaan negara," tegasnya.
Hadirnya tax amnesty, kata dia, juga diperkirakan tidak mampu meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Faisal mengatakan hal ini bisa terlihat dari rasio pajak yang selalu menurun dari priode 2018 sampai 2020 sebesar 8,3%.
"Dengan melihat menurunnya nilai rasio, harus ada yang dibenahi dari tax amnesty ini," ucapnya.
Dia menambahkan, apabila tax amnesty jilid II ini diberlakukan, maka tidak perlu diberikan tarif khusus untuk mereka yang secara sukarela melaporkan hartanya.
"Kalau Direktorat Jenderal Pajak menelusuri tarif pajak dengan denda umum itu akan lebih besar potensi yang didapatkan," tambahnya.
Dia menyebut, adanya program pengampunan pajak Jilid II yang dianggap bertolak belakang dengan semangat reformasi perpajakan. Menurutnya, program tersebut akan membuat pemerintah seakan tidak konisten dengan pernyataannya pada 2016, di mana dinyatakan pengampunan pajak hanya akan dilakukan sekali saja.
"Sebaiknya pemerintah konsisten dalam hal ini pengampunan pajak dan tidak perlu khawatir kalau kehilangan momentum kalau tidak mengecek wajib pajak yang lalai," lanjutnya.
‎Di sisi lain, adanya kebijakan pengampunan pajak jilid II yang akan dimulai pada 1 Januari 2022 itu dinilai akan berdampak negatif pada ekonomi nasional. Bahkan, kepercayaan pembayaran pajak bisa turun karena adanya tax amnesty.
Pasalnya, program tersebut justru menggangu psikologi pembayar pajak yang lebih memilih untuk menunggu tax amnesty jilid berikutnya.
"Mereka berpikir buat apa patuh pajak, pasti ada tax amensty berikutnya. Tentunya ini blunder ke penerimaan negara," tegasnya.
Hadirnya tax amnesty, kata dia, juga diperkirakan tidak mampu meningkatkan penerimaan pajak jangka panjang. Faisal mengatakan hal ini bisa terlihat dari rasio pajak yang selalu menurun dari priode 2018 sampai 2020 sebesar 8,3%.
"Dengan melihat menurunnya nilai rasio, harus ada yang dibenahi dari tax amnesty ini," ucapnya.
Dia menambahkan, apabila tax amnesty jilid II ini diberlakukan, maka tidak perlu diberikan tarif khusus untuk mereka yang secara sukarela melaporkan hartanya.
"Kalau Direktorat Jenderal Pajak menelusuri tarif pajak dengan denda umum itu akan lebih besar potensi yang didapatkan," tambahnya.